Misteri Villa Berdarah

Mereka berada di dataran tinggi Lingga, sebuah dataran tinggi di daerah Jawa Tengah yang biasa digunakan untuk acara perkemahan, juga terkadang penjelajahan para pecinta alam. Pada tanggal 31 Desember kemarin, mereka pun mendirikan perkemahan di daerah itu untuk menyambut datangnya tahun baru. Ada cukup banyak rombongan pecinta alam lain yang juga menikmati tahun baru di sana, namun sebagian besar sudah meninggalkan dataran tinggi itu pada satu hari setelahnya. Rombongan Arman dan kawan-kawannya termasuk rombongan akhir yang meninggalkan kawasan itu.

Seperti yang dikatakan Arman, di dataran tinggi itu juga terdapat beberapa villa yang dibangun. Ada beberapa villa milik pribadi, ada pula villa-villa yang dibangun untuk disewakan kepada pengunjung. Villa-villa pribadi yang dibangun di sana memiliki ciri yang khas; jaraknya dengan villa yang lain cukup berjauhan. Mungkin karena pemilik villa-villa itu memang menginginkan privasi yang benar-benar terjaga.

“Kita benar-benar mujur,” kata Arman dengan senang saat melihat cukup jauh di depannya nampak sebuah bangunan villa pribadi yang jelas masih berpenghuni. Ada sebuah mobil Blazer warna hitam dan sebuah mobil Phanter warna merah tua yang terparkir di halaman villa itu. “Kita bisa ke sana,” kata Arman pada kawan-kawannya.

Mereka pun mempercepat langkah agar segera sampai di villa yang dituju itu. Selama bertahun-tahun menjadi pecinta alam, mereka tahu dari pengalaman bahwa orang-orang selalu mau menolong meskipun tidak saling mengenal, dan kini mereka pun yakin bahwa orang di villa itu pun pasti akan mengulurkan tangannya untuk menolong mereka.

Semakin dekat jarak mereka dengan villa itu, semakin cepat pula mereka melangkah. Gina sudah pingsan dan kini dia tidak lagi dipapah tapi digotong oleh Bimo dan Jimmy. Sementara yang lain memanggul tas-tas besar di punggung mereka.

Arman mendekati pintu gerbang dan mencari bel yang dapat digunakannya untuk memanggil orang di dalam villa, tapi bel yang dicarinya tak ditemukannya. Diperhatikannya halaman villa dari pintu gerbang besi di hadapannya, dan villa itu nampak sepi sekali. Apakah para penghuninya masih tertidur?

Arman melihat kalau pintu gerbang itu tak terkunci. Maka didorongnya pintu besi itu dan ia segera melangkah masuk ke halaman setelah pintunya terbuka. Kawan-kawannya mengikutinya di belakang.

Saat melewati mobil-mobil yang terparkir di halaman, Arman sempat melihat nomor platnya, dan ia tahu kalau mobil itu dari Jakarta. Rupanya ada juga orang Jakarta yang punya villa di sini, batinnya.

“Sepi sekali,” kata Vivit yang berada di dekat Arman.

“Mungkin penghuninya masih pada tidur,” jawab Arman sambil memperhatikan villa itu.

Pepen yang ada di belakang mereka kemudian berbisik, “Kalian boleh percaya boleh tidak, tapi aku tahu kalau ini adalah villa yang angker.”

Jimmy dan Bimo yang telah membaringkan tubuh Gina di bagian depan villa itu segera saja melotot ke arah Pepen.

“Kenapa sih otakmu selalu penuh dengan hal-hal seperti itu?” sewot Jimmy dengan suara yang lirih.

“Aku sudah sering mendengar tentang villa ini dari kawan-kawanku yang biasa berkemah di daerah sini,” jawab Pepen setengah berbisik, “dan kata mereka...”

“Apa?!” tantang Bimo.

“Kata mereka...sering terdengar jeritan-jeritan mengerikan dari villa ini...”

Jimmy dan Bimo nampak saling pandang, sementara kawan-kawan mereka yang lain yang ikut mendengar bisikan itu nampak merinding.

Kini Arman mulai mengetuk pintu villa yang masih tetap nampak sepi itu, sementara kawan-kawannya memperhatikan.

Tok-tok-tok...

Tok-tok-tok...

Arman terus mengetuk-ngetuk pintu villa itu dengan ketukan yang sopan, namun penghuni villa itu tetap tak ada yang keluar.

“Lebih keras lagi, Ar,” kata Bimo.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (3)