Interupsi

Aku datang
Aku duduk
Aku dengarkan
Aku manggut-manggut
Aku menggeleng
Aku acungkan jari

Interupsi...!
Kenapa ada sepatu di atas kepala?
Kenapa ada seruling tanpa lubang?
Kenapa ada buku yang tak berlembar?
Kenapa ada lukisan tanpa gambar?
Kenapa ada bangkai yang bisa berjalan?

Interupsi!
Kenapa aparatur jadi impoten?
Kenapa keadilan cuma cerita?
Kenapa kesejahteraan tak juga merata?
Kenapa hukum tak sama rata?
Kenapa praktek kotor masih juga ada?

Interupsi!
Kenapa pengangguran masih merajalela?
Kenapa yang lemah selalu ditindas dan diperdaya?
Kenapa yang di bawah selalu saja dijajah?

Interupsi!
Kenapa masih saja ada korupsi?
Kenapa masih saja ada kolusi?
Kenapa masih saja ada pungli?
Kenapa masih saja ada monopoli?
Kenapa nepotisme masih berdiri?

Interupsi!
Kenapa suara suksesi harus dibungkam?
Kenapa reformasi dikambinghitamkan?
Kenapa mimbar keadilan dibumihanguskan?
Kenapa yang benar terus ditekan?
Kenapa yang batil masih juga dipertahankan?
Kenapa fasilitas hanya untuk tuan-tuan bersedan?

Interupsi!
Sampai kapan rakyat akan menderita?
Sampai kapan kami harus berpuasa?
Sampai kapan kekotoran akan dijalankan?
Sampai kapan uang akan dianakemaskan?
Sampai kapan kezaliman akan diagungkan?

Interupsi!
Tak lihatkah mereka yang menderita?
Tak lihatkah mereka yang sengsara?
Tak lihatkah mereka yang berurai air mata?
Tak lihatkah mereka yang berduka?
Tak lihatkah mereka yang bersimpuh di malam buta?
Ataukah memang penglihatan telah buta?
Interupsi!
Hei, dengarkan aku interupsi!
Interupsi...!
Kenapa dilarang interupsi...?!