Dunia Tak Terlihat

Ketika pertama kalinya aku bertanya-tanya sendiri dalam hatiku mengapa aku diberi hidup, aku mencari-cari jawabannya. Dan jawaban itu kemudian datang—bertubi-tubi dalam hidupku—yang kemudian membuatku kacau. Aku pernah merasa bahwa aku seorang Superman—juga Spiderman, dan beberapa tokoh superhero lain yang tak dapat kusebutkan satu persatu—karena aku begitu terobsesi saat melihat mereka—dan ya, aku ingin bisa seperti itu. Tidak ada yang tak ingin menjadi superhero, kan?

Namun kemudian aku menyadari bahwa aku bukanlah mereka—atau setidaknya, mereka bukanlah aku. Ketika pertama kalinya aku diberi hidup, aku tentu juga telah dilengkapi dengan peran lain yang paling layak untukku—yang seharusnya kujalani—dan ketika aku sampai pada kesadaran semacam itu, aku pun tahu bahwa aku ingin menjadi diriku sendiri.

Dan ketika kau telah bertekad untuk menjadi diri sendiri, kau pun akan tahu bahwa kau akan menghadapi petualangan yang bahkan mungkin lebih seru dan lebih mengasyikkan dibanding petualangan Superman atau Spiderman atau semua petualangan mereka yang digabung menjadi satu sekalipun. Ketika aku telah menjadi diriku sendiri, aku seperti baru melihat duniaku secara seutuhnya dan kemudian menyadari bahwa karena itulah aku diciptakan—dan diberi hidup.

Mungkin segala hal yang kualami dalam hidup pribadiku tidaklah sedramatis yang terjadi dalam hidup Superman atau Spiderman atau X-Man atau Batman, namun aku tahu bahwa semuanya memiliki makna yang sama. Jika kau membantu seorang kawanmu bangkit saat dia terjatuh, tentu maknanya sama dengan Spiderman yang menyelamatkan seseorang dari sebuah gedung tinggi yang tengah terbakar, kan? Jika kau menepuk pundak sahabatmu saat ia bersedih atau menemaninya saat ia berduka, tentu artinya sama dengan Superman yang menghentikan laju kereta api agar tidak menabrak seseorang yang tengah terbaring di atas rel, kan?

Begitulah hidup, dan itulah mengapa kita diberi karunia itu.”

Anak lelaki itu membalik gulungan kertas pertama, kemudian mulai membaca gulungan kertas kedua...

“Hidup ini luar biasa—bahkan terlalu luar biasa untuk sekedar dituliskan. Saat ini di sini—setiap malam, setiap kali aku hendak tidur—aku seringkali bertanya-tanya pada diriku sendiri mengapa aku bisa sampai di sini dan menghadapi takdir agung yang belum pernah kubayangkan—menjadi seorang Raja. Ya, aku memang pernah membayangkan ingin menjadi Superman atau Spiderman—namun menjadi Raja? Kupikir itu terlalu muluk dan terlalu tinggi bagiku.

Namun di sini aku kemudian tahu bahwa tidak ada yang terlalu tinggi atau terlalu muluk atau terlalu mustahil bagi setiap orang. Di duniaku ataupun di duniamu, kau bisa menjadi apapun—bahkan menjadi sesuatu yang belum pernah kau bayangkan—dan itulah mengapa aku selalu suka menganggap bahwa hidup ini luar biasa.

Ketika aku belum mencapai takdir ini, ketika aku belum menjadi seorang Raja, aku hanyalah anak lelaki biasa yang menjalani hidup normal di kotaku—menjadi mahasiswa di sebuah kampus, memiliki seorang pacar yang kadang ceriwis namun baik hati, bersahabat dengan kawan-kawan yang asyik, dan aku selalu suka bermain basket—khususnya di lapangan basket di kampusku. Namun aku tahu—dan selalu yakin—bahwa aku harus mengisi hidupku dengan segala sesuatu yang terbaik—yang mulia—karena aku tahu bahwa hidup ini mulia. Adakah yang lebih agung dan lebih mulia dari hidup seorang manusia...?

Oh, mungkin ini terkesan filosofis, namun kalau kau pernah tercebur got dan kemudian kau menghadapi suatu dunia yang baru kau saksikan dan kemudian kau dijadikan raja di dunia itu, kau akan tahu bahwa ini tidaklah filosofis—setidaknya begitulah menurutku.”

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (26)