Dunia Tak Terlihat

Raja Ediskus tersenyum, kemudian berkata dengan suara bergetar, “Karena jauh di bawah sadarmu kau menyadari bahwa tubuhmu, jasadmu, dirimu, terlalu mulia untuk dimasuki oleh barang-barang yang akan merusakannya—dan kau pun menyadari bahwa dirimu, harkatmu, martabatmu, terlalu mulia untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang mungkin biasa dilakukan oleh sesamamu. Kau tidak bisa melakukan semua hal yang tercela dan merusak sebagaimana yang biasa dilakukan oleh manusia lainnya—karena kau sesungguhnya menyadari bahwa kau telah ditakdirkan untuk menjadi seorang yang mulia.”

Rafli merasakan perasaannya kacau mendengar semua itu. “Tuan Raja, saya...saya merasa tak se...seagung itu...”

“Tetapi kau memang seagung itu, Rafael,” ujar Raja Ediskus dengan lirih, “dan itulah mengapa namamu tertulis dalam Kitab Sang Nasib.”

“Tapi...tapi bisa saja kalau Rafli atau Rafael yang dimaksudkan dalam kitab itu bukan saya, kan?” kata Rafli memberanikan diri. Ia belum siap untuk menerima takdirnya yang baru. “Ada begitu banyak Rafli atau Rafael lain selain diri saya, tentunya...”

Raja Ediskus tersenyum. “Ada begitu banyak Rafli atau Rafael lain selain dirimu, dan kami meyakini itu,” ujar Raja Ediskus kemudian. “Kau hanyalah satu di antara Rafael lain yang mungkin jumlahnya ratusan, ribuan atau mungkin jutaan di duniamu. Tapi mengapa kau yang terpilih? Karena begitulah takdir manusia, Rafael. Dari jutaan tahun bumi kita dan di antara milyaran manusia yang pernah hidup di dalamnya, kehidupan selalu menunjuk dan memilih salah seorang yang terbaik di antaranya—dan begitu pula sekarang yang terjadi denganmu. Kau telah disuratkan oleh sang Nasib untuk menjadi raja di sini.”

“Tapi, Tuan Raja,” Rafli masih merasa belum mampu menerima kenyataan ini, “saya punya pacar—dan dia baru saja minta putus, saya harus mengurusnya—dan saya juga harus mengambil mobil saya di bengkel, dan saya sudah janjian sama teman-teman untuk melihat pameran elektronik di Java Supermall—ada MP3 dan iPod seri terbaru—kalau Tuan Raja tahu.”

Raja Ediskus tertawa kecil. “Rafael,” katanya kemudian sambil menahan senyum, “kalau kau telah dianugerahi kebesaran seorang Raja, masih layakkah kau merisaukan hal-hal kecil semacam itu...?”

Kalau kau telah dianugerahi kebesaran seorang Raja, masih layakkah kau merisaukan hal-hal kecil semacam itu...? Rafli merasakan kedua matanya seperti baru terbuka.

Tetapi masih ada satu hal yang mengganjal dalam pikirannya. “Tuan Raja,” kata Rafli kemudian, “tapi ini negeri kurcaci, kan? Mengapa harus manusia yang memimpin mereka? Mengapa tidak salah satu dari kurcaci itu yang menjadi pemimpin di negeri ini?”

Raja Ediskus menjawab dengan sungguh-sungguh, “Karena hanya manusia, Rafael, karena hanya manusia yang memang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi—dimana pun bumi itu.”

Kemudian Raja Ediskus berdiri, dan sambil menatap ke seluruh kurcaci di ruangan aula itu, dia pun berkata dengan suara yang agung dan bergetar, “Rakyat Negeri Kurcaci, kinilah saatnya kalian semua menyambut Raja kalian yang baru—pengganti rajamu yang telah renta ini—Raja Rafael...”

Beratus-ratus kurcaci itu secara serentak berdiri dan bersorak-sorai penuh kegembiraan. Rafli merasakan telinganya nyaris meledak mendengar suara mereka yang berdengung keras di seluruh aula itu.

Dabi menyentuh lengan Rafli, kemudian berkata dengan hormat, “Mari, Tuan Raja.”

Dan Rafli pun memahami maksud Dabi. Ia berdiri di tempatnya, kemudian menyambut sorak-sorai membahana yang menandai kehadirannya sebagai raja baru di sana.

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (23)