Dunia Tak Terlihat

Kini mereka berkumpul di aula itu, duduk melingkar, dan Rafli menyaksikan beratus-ratus kurcaci menyesaki aula itu. Aula itu cukup luas dan dapat menampung banyak orang—kalau tubuhnya sekecil para kurcaci. Rafli duduk di bagian kanan aula itu, dengan Dabi duduk di sebelahnya.

“Dabi, berapa banyak kurcaci yang hidup di negeri ini?” tanya Rafli dengan suara berbisik.

“Oh, banyak sekali, Tuan,” sahut Dabi dengan bangga. “Apabila semua yang tersebar di negeri ini dikumpulkan, jumlahnya mungkin mencapai jutaan.”

“Jutaan???” Rafli benar-benar takjub. Seharusnya mereka juga ikut nyoblos dalam pemilu walikota! “Jadi...jadi negeri kalian luas, ya?” tanya Rafli kemudian.

“Begitulah, Tuan,” jawab Dabi dengan rendah hati.

Rafli seperti ingin bertanya lagi, tapi kemudian bibirnya terkunci ketika menyaksikan iring-iringan baru yang datang ke aula itu. Ada cukup banyak kurcaci lagi yang datang, namun kali ini mereka mengiringi sesosok yang lebih besar dan lebih tinggi dari para kurcaci—sepertinya itu juga manusia seperti dirinya—hanya saja berusia jauh lebih tua. Rambutnya nampak panjang dan telah memutih semua—wajahnya juga sangat putih dan bersih—terkesan bijaksana.

“Dabi, apakah dia...juga kurcaci?” tanya Rafli sambil mengarahkan pandangannya pada sosok berambut putih panjang tadi.

“Dia manusia, Tuan,” sahut Dabi. “Dia manusia seperti Tuan.”

“Jadi...jadi ada manusia lain selain diriku di negeri ini?”

“Ya, dia Raja Ediskus, dan dia adalah raja kami.”

“Raja kalian?” tanya Rafli dengan terkejut. “Jadi...jadi kalian dipimpin oleh seorang manusia, begitu?”

“Begitu, Tuan.” Dabi mengangguk.

Rafli tidak paham. Namun dia tak bisa bertanya lagi karena mendadak seluruh aula menjadi hening—tanpa suara sedenting pun—dan semua pandangan tertuju ke arah sosok manusia berambut putih panjang dengan wajah putih bijaksana, yang kini telah duduk di ujung aula dengan beberapa kurcaci di sekelilingnya.

Raja kurcaci yang bernama Raja Ediskus itu terlihat akan berbicara. Dia mengambil sesuatu yang mirip buku—berukuran cukup besar, terlihat lusuh dan tua—kemudian mengedarkan pandangannya ke semua kurcaci di ruangan aula itu.

“Ehm,” dia berdehem dengan pelan, seperti biasa umumnya manusia kalau akan berbicara sesuatu yang penting. “Selama ratusan tahun, negeri ini selalu hidup tenteram dan damai di bawah kaki-kaki manusia yang berada di Bumi Atas, tak peduli seribut apapun peperangan yang pernah dan yang telah atau yang sedang terjadi di bumi manusia. Ini adalah negeri kedamaian—dan kami berbahagia dalam kedamaian itu.”

Kini pandangan matanya terarah kepada Rafli, sepertinya ia menujukan ucapannya kepada Rafli. Suaranya masih terdengar perlahan, begitu renta namun terdengar bening. “Dan negeri yang damai ini selalu dipimpin oleh seseorang—seorang manusia—yang juga mencintai kedamaian—selama bergenerasi ke generasi—dari seorang raja ke seorang raja lainnya. Dan setiap raja yang memimpin di negeri ini tidak dipilih oleh kami, tidak dipilih oleh para kurcaci, melainkan telah tertulis dalam Kitab Sang Nasib.”

Ratusan kurcaci yang ada di aula itu tetap hening, tenang, tanpa ada suara sedenting pun yang terdengar, sementara Rafli mendengarkan suara sang Raja Ediskus sambil mengingat-ingat seorang menteri di jaman Orde Baru.

“Dan kini, sekarang, kita telah kedatangan salah satu tamu agung seperti yang telah disuratkan dalam Kitab Sang Nasib,” lanjut Raja Ediskus sambil membuka buku tua lusuh di tangannya. “Seperti yang telah diyakini selama berabad-abad lamanya, semua pemimpin yang telah dan akan menjadi raja di negeri ini telah tertulis namanya di dalam kitab ini...” Dia terlihat mengurutkan jarinya di dalam buku tua lusuh yang telah terbuka itu, sementara ratusan kurcaci nampak memandanginya dengan khusyuk.

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (21)