Dunia Tak Terlihat

Tanpa sadar Rafli menghentikan langkah kakinya, dan puluhan kurcaci yang bersamanya pun ikut menghentikan langkahnya. Kini Rafli berdiri dengan ponsel menempel di telinga, sementara puluhan kurcaci berdiri mengelilinginya dengan sabar—mungkin para kurcaci itu paham kalau manusia di depan mereka ini tengah bermain-main dengan benda aneh namun ajaib yang bernama handphone.

“Masalahnya begini, El...” Rafli mencoba menjelaskan.

Namun Eliana kembali memotong dengan tak sabar. “Tapi teman-teman sudah terlalu lama menunggu, Raf—aku jadi tidak enak sekali. Dimana kau sekarang? Masih di bengkel?!”

“Aku...aku di Negeri Kurcaci.”

“Di gerai KFC...???”

“Di Negeri Kurcaci, El,” ralat Rafli dengan suara yang lebih pelan.

“Oh, cukup, Raf!” Suara Eliana terdengar jengkel. “Jangan begitu lagi!”

“Tapi...tapi aku benar-benar di sini, El,” kata Rafli dengan bingung. “Aku benar-benar di Negeri Kurcaci, dan...dan sekarang aku bersama puluhan kurcaci tengah menuju kediaman mereka...”

“Oh, Raf, kau ada di Semarang, dan itu tidak mungkin, kan?”

“Tapi kenyataannya begitu, El.”

“Kau saja yang membuatnya begitu!” Suara Eliana terdengar makin suntuk. “Kemarin kau masuk ke Negeri Peri dan aku berusaha untuk percaya kepadamu—sama percayanya ketika kau mengatakan bahwa kau Superman atau Spiderman—tapi sekarang kau masuk ke Negeri Kurcaci dan berharap aku bisa percaya lagi...? Oh, cukup, Raf! Aku sudah tak tahan lagi!”

“El, aku...”

“Kau keterlaluan!” sembur Eliana di ponselnya. “Kau terlalu asyik dengan dirimu sendiri hingga seringkali kau menelantarkan aku!”

“Aku...aku tidak...”

“Selama ini aku sudah cukup menyabar-nyabarkan diri, Raf! Aku sudah menyabarkan diriku sendiri demi bisa memahamimu karena aku tak ingin hubungan kita hancur hanya karena keegoisanku—atau keegoisanmu. Tapi kau keterlaluan!!!”

“El, kau...kau salah paham, dan...”

“Tentu saja aku tidak salah paham!” sembur Eliana dengan galak. “Aku tahu betul dengan semua yang terjadi dalam hubungan kita ini, aku kenal betul siapa dirimu—dan sifatmu, dan karaktermu, dan tabiatmu. Tak ada yang lebih mengenalmu selain aku, Raf, dan sekarang aku sudah tak tahan lagi!”

“El, kita...kita bisa membicarakan ini setelah aku...”

“Tidak perlu, Raf.” Kini suara Eliana terdengar letih. “Kita tidak perlu membicarakan apa-apa lagi. Mungkin kita memang beda dunia—aku di dunia kenyataanku, sementara kau di dunia khayalan-khayalanmu—dan kurasa kita memang tak bisa disatukan lagi. Perbedaan itu terlalu besar dan aku merasa tak sanggup untuk terus menjalaninya.”

“Apa maksudmu, El...?!”

“Maksudku, kita cukupkan saja hubungan kita sampai di sini.”

“El...?!”

Tapi Eliana telah memutuskan hubungan, dan ponsel Rafli kini hanya memperdengarkan suara ‘tut’ yang menyakitkan telinga. Rafli merasa panik, gugup dan bingung—semua cowok selalu begitu kalau tiba-tiba mendapat ultimatum pemutusan dari pacarnya, kan?

Dan karena Rafli belum ingin kehilangan Eliana, dia pun lalu menelepon balik ke ponsel pacarnya itu, dengan harapan mereka masih bisa membicarakan masalah ini dengan lebih baik—namun kemudian Rafli mendesah kesal karena Eliana selalu mematikan ponselnya begitu hubungan mereka tersambung. Beberapa kali Rafli mencoba lagi, beberapa kali Eliana mematikan ponselnya lagi.

Rafli mendesah dengan sedih dan kesal. Akhirnya dia hanya bisa memandangi screen ponselnya dengan perasaan yang tak karuan. Dan saat matanya menangkap logo operator di screen ponselnya, Rafli seperti baru menyadari sesuatu—dan dia benar-benar takjub.

Dear God! Sinyal Indosat memang benar-benar kuat! Bahkan dapat menjangkau Negeri Kurcaci sekalipun!

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (19)