Dunia Tak Terlihat

Rafli membatu di tempatnya. Dia tak bisa mengucapkan apa-apa, tak bisa berbuat apa-apa, selain hanya terpana dan terpaku dan terperangah dan merasa akan pingsan namun tak pingsan dan dia berharap untuk pingsan...

“Selamat datang di negeri kami, Tuan,” sapa salah satu dari manusia kecil itu kepada Rafli dengan sikap yang penuh hormat.

Jadi mereka bisa berbicara, batin Rafli dengan takjub. “Di...di manakah aku...?” tanya Rafli kemudian dengan lutut gemetar.
“Tuan ada di Negeri Kurcaci.”

“Negeri Kurcaci...???” Rafli merasa dia ingin pingsan lagi.

Manusia kecil itu mengangguk dengan sikap hormat yang sama. “Tuan pasti dari Semarang Atas,” katanya kemudian.

“Iy-iya, begitulah,” sahut Rafli dengan bingung, “dan...dan aku tak tahu kalau...kalau ada Negeri Kurcaci di sini...”

Manusia kecil itu mengangguk lagi, dan kemudian berkata sambil menatap ke atas agar dapat melihat wajah Rafli. “Negeri kita ini dibagi dua, Tuan—Semarang Atas dan Semarang Bawah. Semarang Atas dihuni oleh para manusia seperti Tuan, sedang Semarang Bawah dihuni oleh para kurcaci seperti kami.”

Rafli terpana. “Oh...aku...aku tak pernah tahu.”

“Sekarang Tuan telah tahu,” sahut kurcaci itu sambil tersenyum ramah.

Rafli terdiam sesaat, kemudian berkata dengan ragu-ragu, “Oh, hm... bagaimana aku harus memanggil kalian...?”

“Tuan bisa memanggil saya dengan panggilan Dabi. Itu nama saya,” sahut kurcaci itu, masih dengan keramahan yang penuh hormat.

“Dan yang lain...?” Rafli menunduk dan mengedarkan pandangannya pada puluhan kurcaci yang juga berdiri di sekelilingnya—namun sepertinya kurcaci Dabi itulah pemimpin mereka.

“Tuan akan berkenalan dengan mereka semua, tak lama lagi,” sahut Dabi. “Sekarang, kami mohon Tuan berkenan untuk menjenguk kediaman kami.”

“Menjenguk...kediaman kalian...?” Rafli masih ingat mobilnya di bengkel, pacarnya yang menunggunya, juga teman-teman yang lain, juga pameran elektronik di Java Supermall...

“Setiap tamu yang datang ke negeri kami selalu menjenguk kediaman kami, Tuan,” ujar Dabi. “Itu bagian dari penghormatan kami kepada setiap tamu.”

“Oh, hm...baiklah.” Rafli pun mengangguk meski dengan ragu-ragu. Tak ada salahnya jalan-jalan sebentar di Negeri Kurcaci, kan?

Sementara Dabi terlihat tersenyum senang, begitu pula puluhan kurcaci lainnya.

Maka mereka pun kemudian memasuki rerimbunan pohon di situ, lalu melangkah di sepanjang jalan yang cukup rata dengan tanah empuk berwarna merah. Rafli berjalan di bagian tengah—diapit oleh para kurcaci di bagian depan dan di belakangnya. Rafli terpaksa harus memendekkan langkah-langkah kakinya untuk mengimbangi langkah-langkah kurcaci yang kecil itu.

“Apakah kediaman kalian jauh dari sini?” tanya Rafli pada salah satu kurcaci di dekatnya melangkah.

“Tidak terlalu, Tuan.” Kurcaci itu menjawab dengan sikap menghormat.

Saat mereka tengah melangkah itu, sekali lagi Rafli merasakan ponselnya bergetar dalam saku celananya. Saat diambilnya ponsel itu, nampak nama Eliana di screen ponselnya. Pasti pacarnya itu sudah tak sabar menunggu kedatangannya!

“Halo, El...?” sapa Rafli setelah membuka line di ponselnya.

“Raf, kok lama sekali, sih?” suara Eliana terdengar begitu jelas di ponselnya. “Teman-teman sudah menunggu, nih!”

“Aduh, sori, El. Aku...aku ada sedikit masalah di...”

“Doni juga bawa mobil, Raf,” potong Eliana tak sabar. “Kalau memang mobilmu belum bisa dibawa, bagaimana kalau kita pakai mobil Doni saja?”

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (18)