Dunia Tak Terlihat

Cewek-cewek memang seperti itu, tak terkecuali ceweknya. Dan Rafli kini jadi sibuk sendiri karena dia harus cepat-cepat membalas SMS pacarnya itu sementara dia juga harus segera mengambil mobilnya agar acara bodoh ber-SMS-an ini segera usai.

Dan ketika ia tengah melangkah sambil mengerutkan kening karena memikirkan bagaimana kata-kata yang sekiranya pas untuk membalas SMS pacarnya itu, Rafli sama sekali tak menyadari kalau trotoar di depannya terbuka—di bawah trotoar itu adalah pipa-pipa beton yang menjadi jalan air yang mengalirkan air hujan dari aspal jalan raya menuju sungai, dan setiap beberapa meter di atas trotoar dipasang kisi-kisi besi yang berlubang agar air dapat masuk melaluinya.

Semua kisi-kisi besi yang berukuran cukup besar itu tertutup, namun kini salah satunya terbuka—di depan Rafli melangkah—dan Rafli sama sekali tak mengetahui atau menyadarinya, dan ia terus saja melangkah sambil jarinya sibuk memencet-mencet keypad di ponselnya.

“Aaaaaaaaaaaaahhh...!!!” Rafli menjerit dengan sepenuh keterkejutan ketika merasakan tubuhnya tiba-tiba terjatuh dan melayang—dan terus melayang dan terus saja melayang—ke bawah.

Dia merasakan begitu jauhnya dia terjatuh namun tubuhnya tak juga mendarat di manapun. Dia terus melayang, dan terus melayang, terus turun ke bawah, namun sepertinya tak ada batas di bawah hingga ia terus saja melayang dan melayang. Ponselnya terlepas dari genggamannya, dan ponselnya itu pun ikut melayang bersama tubuh Rafli yang kemudian terjerembab, terjatuh di atas hamparan tanah yang empuk.

Rafli segera bangkit dari jatuhnya sambil merasakan pinggulnya yang teramat sakit karena terjatuh itu—untung saja tanah tempat jatuhnya seempuk springbed yang biasa ditidurinya. Sambil terduduk dan membersihkan kotoran yang melekat di baju serta celananya, Rafli mengedarkan pandangannya ke berbagai arah yang kelihatannya sepi—dan sunyi. Di manakah aku...?

Kesunyian itu kemudian dikejutkan oleh suara bunyi ponselnya yang tergeletak tak jauh darinya. Dengan otot yang serasa kaku Rafli mengambil ponselnya itu dan melihat SMS datang. Dengan kaku pula dia membuka SMS itu. Dari Eliana.

Sayang, udh nyampe di bngkel ya? Buruan ya Sayang.
<11:15:45 WIB>

Rafli tak mempedulikan SMS itu. Ada yang lebih penting selain membalas SMS pacarnya itu—dimanakah dia kini sekarang berada? Rafli masih ingat bahwa tadi dia tengah melangkah di atas trotoar di pinggir jalan raya kotanya—Semarang—dan kemudian...ya, dan kemudian dia sepertinya terjatuh karena ada lubang...dan...

Dan dimana aku sekarang...???

Tempat yang sekarang disaksikannya ini sepertinya begitu aneh. Kalau memang benar ini adalah di bawah trotoar tempatnya tadi berjalan, rasanya ini tak masuk akal. Dia sekarang berada di sebuah hamparan tanah yang luas—tanah yang terasa begitu empuk dan berwarna merah—dengan banyak tumbuhan yang sangat rimbun di sekelilingnya. Dia seperti berada di tengah-tengah hutan kecil yang bersih dan indah.

Oh gusti, di manakah aku ini...?

Jawabannya datang ketika dari balik rerimbunan pohon yang cukup lebat itu muncul serombongan makhluk—serombongan manusia kecil—yang melangkah dengan perlahan mendekati Rafli.

Rafli membeku di tempatnya. Dia seperti tak dapat mempercayai penglihatannya sendiri. Di hadapannya kini nampak berdiri—berpuluh-puluh jumlahnya—sosok-sosok seperti manusia yang berukuran kecil—mungkin hanya setinggi botol kecap atau setinggi lututnya—dan semuanya tengah menatap ke arahnya.

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (17)