Dalam Rengkuh Sayap Malaikat

Ketika pertama kali diberitahu mengenai meninggalnya neneknya, Firsha berteriak agar ia diijinkan untuk keluar—untuk melihat neneknya yang terakhir kali—namun pihak kepolisian menyatakan bahwa keadaannya tidak memungkinkan.

Saat itu berita perampokan itu masih panas-panasnya, dan korban kejahatan itu diberitakan telah meninggal di rumah sakit, sementara pihak keluarga korban terus-menerus berusaha menerobos kantor polisi untuk mendapatkan Firsha. Keselamatan Firsha terancam jika ia sampai keluar—dan pihak kepolisian lebih memilih untuk tetap mengurung Firsha dalam ruang tahanan daripada berspekulasi dengan keselamatannya.

Maka di ruangan yang sepi itulah Firsha akhirnya terduduk sendirian, menghabiskan sisa air matanya, menangisi kepergian neneknya yang tak dapat dilihatnya.

***

Meskipun secara tersirat harian Swara Pantura menyebutkan bahwa Firsha adalah salah satu pelaku kejahatan perampokan (dan pembunuhan) itu, namun kasus itu tak pernah sampai ke pengadilan hingga beberapa minggu lamanya. Ini membuat orang-orang yang punya perhatian dengan kasus itu menjadi resah.

Sebagian kalangan yang meyakini bahwa Firsha adalah salah satu pelakunya, menginginkan agar perempuan itu segera diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara sebagian kalangan yang lain—yang percaya bahwa Firsha hanyalah korban dan bukan pelaku sesungguhnya—meminta agar perempuan itu segera dibebaskan dari ruang tahanan dan dibersihkan dari segala tuduhan. Semua pro-kontra itu terekam dalam surat-surat pembaca yang dikirim ke harian Swara Pantura yang kemudian memuatnya.

Pihak kepolisian yang diwawancarai oleh koran harian itu menyatakan bahwa mereka masih terus memburu para pelaku lainnya—dan menyangkut Firsha, mereka ‘masih menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut untuk melimpahkan kasus itu ke pengadilan’.

Seorang pengacara yang cukup terkenal di Pekalongan—Daniel Gusman—kemudian tertarik dengan kasus itu dan mendatangi Firsha di ruang tahanannya, menawarkan diri untuk menjadi pengacaranya.

Ketika petugas di ruang tahanan memberitahukan kedatangan pengacara itu kepada Firsha, perempuan malang itu hanya bisa menatap hampa—ia tak memahami maksudnya. Dan mereka pun kemudian bertemu di salah satu bilik yang disediakan khusus untuk para tahanan sementara.

“Tidak seharusnya kau berada di sini, Firsha,” kata Daniel Gusman dengan nada meyakinkan. “Tidak ada saksi atau bukti apapun yang dapat dijadikan dasar hukum untuk terus mengurungmu di sini.”

“Tapi...tapi mereka semua menuduh saya begitu,” sahut Firsha dengan wajah yang nampak semakin pucat—seiring dengan kesedihan dan kepedihan yang terus menderanya.

“Tidak ada yang menuduhmu,” tegas pengacara itu. “Semua saksi itu bukan saksi yang dengan pasti telah melihatmu sebagai pelaku kejahatan itu, dan tas yang kau pegang itu tidak secara otomatis menjadikanmu sebagai pelaku kejahatan itu.”

Firsha tidak terlalu paham dengan apa yang didengarnya itu, dan dia hanya menatap wajah pengacara di hadapannya dengan tatapan hampa.

“Kalau kau bersedia menjadikanku sebagai pengacaramu,” ujar Daniel Gusman, “aku akan membawamu keluar dari sini—dan kau akan bebas.”

“Menjadi pengacara saya?” Firsha semakin tak paham dengan apa yang didengarnya. “Saya pikir saya tidak membutuhkan pengacara karena saya tidak melakukan kejahatan itu!”

Daniel Gusman terdiam sebentar, menatap Firsha, kemudian berkata perlahan-lahan, “Dengarkan ini, Firsha. Saat ini seluruh kota tengah ribut membicarakan kasusmu—maksudku kasus perampokan itu—dan korban perampokan itu telah meninggal. Pihak keluarga korban terus menuntut agar kasus ini segera dituntaskan, sementara pihak kepolisian masih terus memburu para pelaku kejahatan itu—dan kita tak pernah tahu apakah mereka akan berhasil ataukah gagal. Bisakah kau memahami bahwa pihak kepolisian saat ini tengah menghadapi api dalam sekam? Jika mereka tidak segera dapat menangkap para pelaku kejahatan itu sementara tuntutan dari keluarga korban makin keras dan warga kota ini semakin meributkannya, maka kau akan dijadikan tumbal dari kasus ini—kau akan dibawa ke pengadilan untuk suatu kejahatan yang tidak pernah kau lakukan—demi menjaga wibawa pihak kepolisian dan agar mereka tidak terus-menerus merasa tertekan.”

Bersambung ke: Dalam Rengkuh Sayap Malaikat (7)