Dalam Rengkuh Sayap Malaikat

Pekalongan memang bukan kota kriminal meski kadang terjadi pencurian atau perkelahian di sana-sini. Namun kasus-kasus kriminal berskala berat memang jarang terjadi di kota ini, sehingga setiap kali terdengar adanya kasus-kasus berat semacam perampokan atau pembunuhan, maka beritanya akan langsung santer beredar. Begitu pula kasus perampokan disertai penganiayaan yang terjadi di depan gereja di jalan Pagilasan itu.

Karena mengetahui bahwa kasus itu akan menjadi buah bibir masyarakat, maka pihak kepolisian pun segera mengambil langkah preventif untuk menghindarkan hal-hal yang tak diinginkan dengan menahan Firsha sampai kasus itu menemukan titik terang dan kejelasan menyangkut para pelakunya.

Ketika diberitahu hal itu, Firsha tak dapat berkata apa-apa, tak mampu menjawab apa-apa, ia hanya dapat menangis dengan air mata yang makin membanjir di kedua pipinya.

Ketika akhirnya ia sanggup berbicara, ucapan pertamanya adalah, “Tapi nenek saya sedang sakit, dan saya harus memberikan obat yang saya belikan ini untuknya, dan juga...”

“Kami akan memberitahukan hal ini pada nenekmu,” ujar polisi yang menangani kasusnya itu dengan tenang, “dan kami akan membawakan obat yang kau belikan itu untuknya.”

Firsha tak tahu apa yang akan terjadi dengan neneknya nanti begitu ia mendengar berita ini. Namun Firsha juga tak bisa melarang polisi itu untuk tidak memberitahukan masalah yang terjadi padanya ini—neneknya pasti akan bertanya-tanya dan kehilangan kalau tiba-tiba Firsha tak muncul tanpa ia tahu apa yang terjadi dengannya.

Akhirnya, dengan jari-jari yang kaku, Firsha mengambil obat yang telah dibelikannya itu dari saku celananya, dan diserahkannya kepada polisi yang akan mengabarkan masalah ini pada neneknya. Dan setelah itu, Firsha pun digiring untuk masuk ke tempat yang belum pernah dibayangkannya—ruang tahanan.

***

Seperti yang telah diduga sejak semula oleh pihak kepolisian, kasus itu memang kemudian menjadi buah bibir masyarakat Pekalongan—apalagi setelah diketahui bahwa korban perampokan itu adalah istri dari salah satu orang penting di Pekalongan. Surat kabar harian yang terbit di sana—Swara Pantura—bahkan menjadikan berita itu sebagai menu utama setiap harinya. Melalui surat kabar ini pulalah warga Pekalongan kemudian tahu bahwa korban perampokan itu akhirnya tak tertolong lagi setelah empat belas jam mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Dia meninggal sebelum para pelaku kejahatan itu tertangkap semuanya.

Meskipun tidak menuliskannya secara langsung, namun secara tersirat koran itu juga seolah menyimpulkan bahwa Firsha memang salah satu dari empat pelaku kejahatan itu, dan ini membuat warga Pekalongan—khususnya para pembaca koran itu—semakin meyakini kalau perempuan yang telah masuk ruang tahanan itu memang salah satu pelakunya.

Yang tidak pernah mereka tahu adalah; bahwa Firsha tidak dapat menghentikan tangisnya selama dua hari dua malam semenjak masuk ke ruang tahanan itu. Beberapa saat setelah ia masuk ke ruangan yang paling tidak diinginkannya itu, seorang polisi wanita mengabarkan kepadanya bahwa neneknya telah diberitahu keadaan yang kini terjadi pada dirinya, dan bahwa obat yang dibawakannya telah disampaikan pada sang nenek.

Malam harinya, beberapa jam setelah sang polwan itu menemuinya, datang polwan lain yang mengabarkan kepadanya bahwa neneknya telah meninggal dunia—beberapa saat sebelumnya ada seorang tetangga Firsha yang datang ke kantor polisi untuk memberitahukan hal itu.

Firsha menjerit, dan menangis, dan histeris, dan terkulai, dan tersedu-sedu, dan merasa langit runtuh menimpanya. Neneknya—satu-satunya orang yang masih dimilikinya di dunia ini—kini pergi darinya, bahkan ketika ia berada di dalam penjara. Semenjak itulah, Firsha seperti tak pernah mampu menghentikan tangisnya.

Bersambung ke: Dalam Rengkuh Sayap Malaikat (6)