Dalam Rengkuh Sayap Malaikat

Firsha tahu bahwa ia amat mencintai kakeknya, menyayangi neneknya, dan meskipun ia tak pernah merasakan memiliki orangtua, Firsha bersyukur memiliki pengganti seperti mereka. Namun ternyata itu pun tak berlangsung lama. Ketika Firsha naik ke kelas III di SMA-nya, kakeknya yang penuh kasih itu meninggal dunia—dan Firsha merasa dunianya runtuh—ia kehilangan seseorang yang amat dicintainya, seseorang yang ia tahu sangat menyayanginya.

Maka episode baru pun dimulai. Firsha merasa ia tak bisa melanjutkan sekolahnya—tak ada lagi biaya untuk itu. Meskipun Kepala Sekolahnya di SMP dulu masih membantu biaya sekolahnya, namun Firsha tahu bahwa dia juga butuh biaya untuk tetap melanjutkan hidup bersama neneknya. Maka Firsha pun memutuskan untuk keluar dari sekolahnya, kemudian bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik batik kecil di Pekalongan.

Dan begitulah kehidupan Firsha.

Sebagai buruh di pabrik batik itu, penghasilan Firsha amat pas-pasan—sebegitu pas-pasannya sampai dia harus berjalan kaki untuk berangkat dan pulang bekerja karena tak ada uang sisa untuk naik angkot—semua penghasilannya habis untuk biaya hidup bersama neneknya yang kini makin renta, namun Firsha bersyukur karena setidaknya dia sudah mulai bisa membalas segala yang pernah diberikan kakek dan neneknya dulu kepadanya, meski ia tahu ia tak akan pernah mampu membalasnya.

Setiap kali berangkat kerja di pagi hari dan pulang kerja pada sore hari, Firsha selalu harus melewati jembatan Hiloji—sebuah jembatan yang cukup sepi karena bukan di jalan utama—dan Firsha seringkali berhenti di jembatan itu sejenak ketika ia merasa tengah gundah atau gelisah memikirkan sesuatu. Saat berdiri di bibir jembatan, di balik kisi-kisi besi di pinggirannya dan memandang ke air sungai yang mengalir di bawahnya, Firsha seringkali dapat sedikit menenangkan pikirannya.

Bagi Firsha, jembatan Hiloji adalah tempatnya untuk berekreasi, untuk mengistirahatkan lelahnya pikirannya, atas beratnya perjalanan hidup yang harus dilaluinya. Seringkali, bersama senja yang makin merangkak di Pekalongan, Firsha akan berdiri bersandar di kisi-kisi besi di sisi jembatan itu, dan memandang air sungai yang mengalir—nun jauh di bawahnya—dan menyadari bahwa segala yang terjadi dalam hidupnya tak jauh berbeda dengan air yang mengalir itu. Hidupnya seringkali mendapatkan kesusahan, kesedihan, kegelisahan—tak jauh beda dengan air jernih sungai yang terkadang membawa sampah dan kotoran.

Namun, sebagaimana air jernih di sungai yang terus mengalir itu, pada saatnya semua sampah dan kotoran yang menggenanginya itu pun akan sampai pada muaranya dan kemudian air sungai akan menjadi jernih kembali—dan saat menyadari itu, Firsha pun memaksakan bibirnya sendiri untuk tersenyum. Tak selamanya air sungai digenangi sampah dan kotoran, dan tak selamanya hidupnya akan disinggahi kesusahan dan kegelisahan.

Dan di sore itu pun, Firsha tengah berdiri di sana—di kisi-kisi besi di pinggiran jembatan Hiloji—dengan wajah yang muram, sementara matahari belum sirna seluruhnya dari terangnya. Firsha tengah merasa resah—dan gelisah. Sudah beberapa hari ini neneknya sakit, dan ia butuh membelikan obat untuk neneknya, sementara ia harus menunggu beberapa hari lagi untuk mendapatkan gajinya di pabrik tempatnya bekerja. Sudah beberapa kali ia berhutang pada kasir yang biasa memberikan gajinya, dan rasanya ia sudah malu untuk berhutang lagi—apapun alasannya.

Firsha menatap ke langit, seperti ingin mengadukan gundah di hatinya, dan ia menyaksikan langit yang mulai gelap, sementara bayangan bintang-bintang mulai muncul seiring sinar matahari yang makin redup. Lalu ia kembali menundukkan kepalanya, memandangi air jernih sungai di bawahnya—mencoba menenangkan hatinya sendiri seperti biasa—namun kali ini ia merasa tak bisa.

Dan ketika Firsha akan beranjak dari tempatnya berdiri untuk melangkah pulang, sudut matanya menangkap sesuatu yang aneh di salah satu pinggiran sungai di bawahnya. Di balik rerimbunan pohon di bawahnya, Firsha seperti menyaksikan seseorang yang tengah menunduk di pinggiran sungai dengan kedua tangannya yang menyentuh-nyentuh air—dan Firsha seperti melihat sepasang sayap yang bergerak-gerak perlahan di bagian punggung orang itu.

Aku pasti salah lihat, batin Firsha sambil mulai melangkah dari tempatnya berdiri. Bayangan sayap yang dilihatnya itu pasti hanyalah bayangan daun-daun pohon yang ditimpa sisa sinar matahari.

Bersambung ke: Dalam Rengkuh Sayap Malaikat (3)