Dalam Rengkuh Sayap Malaikat

Di sebuah ruang kantor, seorang polisi tengah bercakap-cakap serius dengan seseorang melalui radio panggil.

“Teruskan melakukan patroli—jangan sampai lengah,” suaranya terdengar amat serius.

Terdengar sahutan melalui radio di hadapannya—suaranya tak terlalu jelas karena gelombang yang pecah, “Siap, Pak. Kami terus memantau seluruh daerah ini, dan sejauh ini tidak ada apa-apa yang mencurigakan.”

“Pastikan perempuan itu aman di tempatnya. Awasi terus. Dia pasti akan menghubungkan kita dengan komplotannya!”

Sesaat setelah hubungan itu terputus, polisi di kantor itu termenung. Sudah beberapa kali atasannya meneleponnya, menanyakan hasil akhir atas kasus ini, sementara koran-koran di luar sana terus saja menekan menyangkut hal yang sama—mempertanyakan kasus yang sama. Sementara orang yang seharusnya dapat dijadikan bumper kini telah lepas dari kurungan.

Ini memang kasus yang tergolong besar di sini, batin polisi itu sambil meremas salah satu kertas laporan di tangannya. Lalu sambil membuang kertas itu ke tempat sampah, dia memaki sendiri. Seharusnya persoalan ini sudah selesai kalau saja tak ada pengacara sialan itu!

***

Malam mulai beranjak larut—jarum jam di kamar Firsha telah melewati angka sepuluh. Sayup-sayup telinganya mendengar suara jangkrik di luar kamarnya, dan tiba-tiba Firsha rindu ingin melihat langit malam. Sudah berapa lamakah dia tak pernah lagi menikmati keindahan langit kala malam?

Dulu, saat kakeknya masih ada, dia sering duduk di depan rumah bersama kakeknya, menatap langit, menghitung bintang, dan mendengarkan cerita kakeknya yang sepertinya tak pernah habis. Dan kini tiba-tiba Firsha kembali terkenang pada saat-saat itu, dan Firsha seperti kembali melihat wajah kakeknya, mendengarkan kembali suaranya...

Perlahan-lahan, Firsha membuka dua daun jendela kamarnya yang besar, kemudian berdiri di belakangnya dan merasakan hembusan angin malam yang sejuk. Dia menatap ke atas dan melihat langit nampak bersih dengan bintang-bintang yang berkilauan. Rembulan nampak penuh, dan sekali lagi Firsha terbayang pada kakeknya, pada kisah-kisah yang dulu pernah diceritakannya...

Lamunan Firsha terhenti ketika pintu kamar di belakangnya terdengar diketuk, kemudian perlahan terbuka. Saat Firsha menengok ke belakangnya, nampak Daniel Gusman tengah berdiri di ambang pintu, dengan senyum yang sumbang di wajahnya.

“Pak Daniel?” sapa Firsha dengan sopan. Dia melihat wajah yang sepertinya sedang gelisah.

Daniel Gusman masih berdiri di ambang pintu. “Aku mengganggumu, Firsha?”

“Tentu saja tidak,” sahut Firsha sambil mencoba tersenyum. “Ada sesuatu yang terjadi? Anda sepertinya sedang gelisah?”

Daniel Gusman melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya, kemudian duduk di pinggir tempat tidur Firsha.

Firsha masih berdiri di belakang jendela, menatap Daniel Gusman dengan bingung—baru kali ini pengacaranya itu masuk ke kamarnya.

“Kemarilah, Firsha,” kata Daniel Gusman sambil menatap Firsha.

Firsha beranjak dari tempatnya berdiri, kemudian melangkah dengan ragu mendekati Daniel Gusman.

“Duduklah,” kata Daniel Gusman.

Dan Firsha pun duduk di sisi Daniel Gusman, di pinggiran tempat tidurnya.

“Ada sesuatu, Pak Daniel?” Firsha mengulangi pertanyaannya.

Daniel Gusman tersenyum dengan sumbang, kemudian berkata dengan parau, “Kukira...sudah saatnya kita membicarakan hubungan kita, Firsha.”

“Ya...?” Firsha menatap sosok di sampingnya, tak memahami maksud ucapannya.

“Beberapa hari ini, aku telah mempelajari kasusmu dan juga telah menyusun banyak rencana pembelaan apabila kau dipanggil lagi ke kepolisian atau kasusmu disidangkan di pengadilan. Itu...itu membutuhkan banyak waktu, Firsha, dan juga membutuhkan banyak pikiran.”

“Saya tahu, Pak Daniel,” sahut Firsha, “dan saya...saya amat berterima kasih atas semua pertolongan yang telah Pak Daniel berikan untuk saya.”

Bersambung ke: Dalam Rengkuh Sayap Malaikat (11)