Dalam Rengkuh Sayap Malaikat

Bagi Firsha, salah satu anugerah terbesar dalam hidup yang patut kau syukuri adalah jika kau bisa melihat kedua orangtuamu—karena semenjak lahir, Firsha tidak pernah bisa melihat orangtuanya. Ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan ketika dia masih dalam kandungan ibunya, dan ibunya pun meninggal dunia sesaat setelah melahirkan Firsha.

Semenjak bayi, Firsha tak pernah merasakan sentuhan penuh kasih ibunya, juga tak pernah menyaksikan tatapan penuh cinta ayahnya. Semenjak dilahirkan, Firsha diasuh oleh kakek dan neneknya, dan dari merekalah Firsha mengenal kehidupannya. Kakeknya sering bercerita tentang ayah serta ibunya dulu ketika mereka masih hidup, sementara neneknya menyimpan cukup banyak album foto kedua orangtuanya.

Seringkali, Firsha merasa rindu dengan kedua orang yang telah menyebabkannya terlahir ke dunia ini, namun Firsha tak pernah tahu kemana ia harus melabuhkan kerinduannya. Ia bahkan merasa tak pernah mengenal mereka—selain hanya tahu nama dan wajah-wajah mereka melalui cerita kakeknya, melalui foto-foto yang disimpan neneknya. Jika ada satu hal yang paling ingin didapatkan Firsha dan dia rela menebusnya dengan apapun, maka itu adalah bertemu dengan kedua orangtuanya.

Semenjak kecil, Firsha telah menganggap kakek dan neneknya sebagai orangtuanya, dan kakek serta neneknya memang memberikan curahan kasih yang cukup untuk cucu satu-satunya itu—dan Firsha bersyukur karena memiliki kakek dan nenek sebaik mereka.

Kakek Firsha bekerja sebagai pedagang barang bekas di pasar hilir—suatu pasar di daerah Pekalongan yang khusus memperjualbelikan barang-barang bekas—dari sepeda bekas sampai baju bekas. Dari pekerjaan kakeknya itulah, Firsha bisa mengenyam pendidikan dan menikmati bangku sekolah. Firsha menyadari bahwa penghasilan kakeknya dari pekerjaannya itu tak seberapa, dan ketika Firsha telah lulus SMP, Firsha pun mengutarakan pikirannya pada kakek (dan juga neneknya) bahwa ia telah cukup bersekolah dan ingin mulai bekerja—mencari uang untuk dapat membantu kakek dan neneknya.

Namun kakek yang penuh kasih itu tersenyum dan berkata, “Tentu saja kau harus tetap sekolah, Firsha. Kau harus bersekolah sampai setinggi-tingginya.”

“Tapi, Kek, saya...saya merasa sudah terlalu banyak merepotkan Kakek dan Nenek selama ini,” Firsha menjawab dengan serba salah. “Sudah saatnya saya mulai bekerja dan...”

“Kau akan tetap bersekolah, Firsha,” potong kakeknya dengan halus. “Kau tentu tidak ingin menjadi pedagang barang bekas seperti kakekmu ini, kan?”

Maka Firsha pun tetap bersekolah. Selepas SMP itu dia melanjutkan pendidikannya di salah satu SMA Negeri yang cukup favorit di Pekalongan—dan menjadi salah satu murid paling cemerlang di sana. Masuknya dia di SMA itu karena rekomendasi dari Kepala Sekolahnya di SMP yang rela mengulurkan tangan untuk ikut membantu biaya pendidikannya setelah mengetahui latar belakang Firsha—dan Firsha bahagia bersekolah di SMA itu.

Selama bersekolah di SMA, Firsha seringkali merasa sedih saat waktu pengambilan rapor di akhir tahun, di saat dia menyaksikan ayah atau ibu dari kawan-kawannya berdatangan ke sekolah sementara dirinya tak pernah bisa memperoleh kemewahan seperti itu—neneknya yang selalu mengambilkan rapornya, atau rapor itu dikirimkan langsung oleh gurunya ke rumah kakeknya.

Firsha juga seringkali merasa berkecil hati ketika melihat kawan-kawannya merayakan ulang tahunnya (biasanya yang ke-17) dan merayakannya secara besar-besaran dengan mengundang seluruh kawan-kawannya—sementara dirinya tak pernah menikmati kebahagiaan seperti itu.

Satu-satunya orang yang tak pernah melupakan hari ulang tahunnya hanyalah kakeknya, dan sang kakek yang penuh perhatian itu selalu memberikan kado ulang tahun untuk Firsha setiap kali dia berulang tahun—kadang guci kecil yang didapatkannya dari pasar hilir, atau tempat polpen yang terbuat dari kayu, pernah pula bingkai foto kristal yang telah retak di salah satu bagiannya—dan Firsha selalu menerimanya dengan mata yang menghangat, kemudian menyimpan hadiah-hadiah itu dengan rapi di kamarnya seperti ia menyimpan butir-butir mutiara.

Bersambung ke: Dalam Rengkuh Sayap Malaikat (2)