Misteri Pembunuhan Berantai

Joshep memukul telapak tangannya sendiri, membayangkan segala kemung-kinan yang bisa saja terjadi. Kemarahannya semakin meluap. Bayangan Firdha seperti mengejeknya. Dia harus menemui perempuan itu! Dia harus tahu apa saja yang telah dibongkarnya dan apa saja yang masih disimpannya. Maka Joshep pun segera berkemas dengan perasaan yang masih marah tak karuan.

Baru saja ia hendak mengenakan jaketnya, ponselnya tiba-tiba berdering. Joshep segera mengambil ponselnya di atas meja, dan langsung tahu ada sebuah SMS yang datang. Segera dibukanya SMS itu dan dibacanya dengan terburu-buru. Sejenak dia mengerutkan dahinya dengan bingung, kemudian, dan entah mengapa, Joshep pun tersenyum…

JAM menunjukkan waktu yang hampir tengah malam. Di salah satu sudut hotel bintang tiga, dalam sebuah kamar bernomor 72, Firdha tengah mengguyur tubuhnya di bawah shower. Teman kencannya, seorang laki-laki setengah baya yang dikenal Firdha sebagai Om Herman, tengah meneguk minuman ringan di atas tempat tidur dengan telanjang dada. Bibirnya nampak tersenyum sendiri.

Ia selalu merasa puas setiap kali berkencan dengan mahasiswi cantik ini. Firdha telah menjadi salah satu langganan kencannya yang sangat disayanginya. Berkencan dengan Firdha bukan cuma memberikan kepuasan biologis, tapi juga kepuasan batin karena Firdha yang pintar itu selalu mampu menenteramkan hatinya dari segala kegalauan dan kebingungan. Firdha selalu siap untuk diam dan mendengarkan bila Om Herman ingin mencurahkan beban dalam hati dan pikirannya.

Meski dia harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit, Om Herman selalu puas dengan servis yang diberikan Firdha. Sebagai seorang direktur pada sebuah perusahaan penerbitan media massa, Om Herman sering dilanda masalah dan kebingungan. Bisnisnya selalu menuntut banyak energi dari pikirannya. Persaingan antar media massa yang saat ini begitu ketat sering membuat Om Herman stres memikirkannya.

Dari sini kemudian Om Herman berpikir, dari pada harus menghamburkan uang banyak untuk konsultasi dengan psikiater yang hanya bisa mengkhotbahinya dengan segala macam nasihat dan petuah, Om Herman lebih memilih memberikan uangnya pada Firdha yang bisa duduk dengan santun dan bisa diam untuk mendengarkan segala keluh-kesahnya. Sebulan sekali, secara rutin, Om Herman meluangkan waktunya untuk menemui Firdha dan mereka pun berkencan seperti ini. Biasanya setelah itu Om Herman merasa pikirannya menjadi fresh kembali dan siap untuk bekerja lagi di belakang mejanya yang selalu penuh dengan kertas-kertas kerja yang menggunung.
   
Diteguknya sekali lagi minumannya sambil menunggu Firdha keluar dari kamar mandi. Om Herman baru saja meletakkan gelasnya di atas meja saat didengarnya suara ponsel berdering. Di atas meja ada dua ponsel, satu miliknya dan satu milik Firdha. Om Herman tahu ponsel milik Firdhalah yang berdering. Diambilnya ponsel itu. Ada sebuah nama yang tercantum di layarnya. Om Herman segera bangkit dan mengetuk pintu kamar mandi.
   
“Firdha,” panggilnya, “ada telepon untukmu.”
  
Dari dalam kamar mandi, Firdha mematikan showernya. “Dari siapa, Om?” Biasanya Firdha tidak mempedulikan bila si penelepon bukan orang yang dikenalnya.
   
Om Herman melihat kembali layar ponsel di tangannya. “Dari Joshep,” katanya kemudian.
   
Mendengar itu, Firdha langsung berkemas. Lalu hanya dengan melilitkan handuk di tubuhnya, dia pun keluar dari kamar mandi. Om Herman menyerahkan ponsel itu pada Firdha.
   
Bersambung ke: Misteri Pembunuhan Berantai (45)