Misteri Pembunuhan Berantai

Wawan terdiam mendengar penjelasan itu. Dalam otaknya dia mencoba mengingat-ingat apakah masih ada jejaknya di rumah Hakim? Benarkah Joshep telah menyingkirkan semua yang bisa dihubungkan dengan keberadaan mereka di rumah Hakim?
   
Komandan Polisi Hendra menganggap diamnya Wawan sebagai persetujuan pada teorinya. Dipandanginya keponakannya itu dengan penuh pengertian sebelum akhirnya berucap, “Om tahu kamu tentu sulit menerima kenyataan seperti itu. Tapi Om harap kamu mau melaporkan pada Om apabila memperoleh informasi baru mengenai dua temanmu ini, oke?” Kemudian ditepuk-tepuknya pundak Wawan.
   
“Saya pasti akan melaporkannya, Om,” jawab Wawan dengan pasrah.
   
Komandan Polisi Hendra beserta ajudannya kemudian berpamitan. Wawan mengantarkan mereka sampai di pintu depan. Tiba-tiba Om Hendra berbalik dan seperti teringat sesuatu. “Oh ya, kamu tadi mengatakan kalau perselisihan antara Hakim dengan Rexi adalah karena masalah pacar. Kamu tak keberatan kan, kalau Om tanya siapa nama pacar yang diperebutkan itu?”
   
Wawan tersentak. Ini adalah pertanyaan yang sama sekali tak diduganya. Dia memang telah salah memberikan jawabannya tadi. Seharusnya dia mencari jawaban lain untuk penyebab perselisihan antara Hakim dan Rexi tadi. Satu kebohongan memang selalu menuntut kebohongan yang lain.

Dan sekarang, siapa nama yang harus disodorkannya sebagai ‘pacar’ itu? Wawan yakin, Om Hendra pasti akan menemui orang yang akan disebutnya ini. Satu-satunya nama yang kemudian berkelebat dalam otaknya saat itu hanyalah Firdha. Ya, Firdha tentu bisa dikontak untuk ikut bersekongkol dalam kebohongan ini. Joshep pasti bisa membereskannya.
   
“Kalau kamu keberatan menyebutkan nama gadis itu, Om bisa menanyakannya pada temanmu yang lain,” lanjut Om Hendra, masih dengan suara kebapakannya.
   
“Namanya Firdha,” jawab Wawan langsung.
   
Om Hendra mengangguk, kemudian berlalu dengan ajudannya. Begitu dua orang itu hilang dari pandangan, Wawan segera berlari menuju kamarnya dan segera mengangkat telepon. Segera saja dihubunginya teman-temannya untuk mengabarkan tentang kedatangan polisi yang mencari informasi mengenai pembunuhan Hakim dan hilangnya Rexi. Wawan menekankan pada setiap sahabatnya untuk mengulang jawaban yang telah diberikannya pada polisi agar kebohongan mereka tak terungkap.
   
“Lagi-lagi Firdha!” Joshep langsung ngamuk ketika ditelepon Wawan dan mengabarkan tentang wawancaranya dengan polisi. Joshep merasa keberatan kalau dia lagi-lagi harus menemui Firdha untuk mengajaknya ‘bekerjasama’. “Kenapa kamu sodorkan Firdha, Wan?!”
   
“Aku bingung, Josh. Aku tak tahu siapa yang harus kusebutkan sebagai pacar yang diperebutkan Rexi sama Hakim itu,” jawab Wawan seolah merasa bersalah. “Lagian Firdha kan jelas mau diajak kerjasama.”
   
“Tapi aku malas kalau harus menemuinya lagi.” Joshep menyebutkan alasan-nya secara asal-asalan.
   
“Aku heran, Josh. Kemarin kamu semangat banget mengenai Firdha. Sekarang kamu justru menjadi lesu, padahal keadaannya makin gawat!”
   
Joshep terdiam di seberang sana.
   
“Oke, Josh,” lanjut Wawan, “kalau kamu keberatan untuk menemui Firdha kembali, biar aku yang menemuinya. Ini harus dilakukan secepatnya sebelum polisi menemuinya.”
   
“Baiklah, baiklah, sekarang juga aku akan menemui Firdha.” Joshep segera mematikan telepon. Sementara Wawan menjadi termangu. Ada apa dengan Joshep?

Bersambung ke: Misteri Pembunuhan Berantai (25)