Dunia Tak Terlihat

Setelah melihat Rafli menghabiskan minumannya dan telah meletakkan gelasnya kembali di atas meja, Eliana pun merasa bahwa kinilah saatnya ia bisa mulai bertanya.

“Raf,” Eliana memulai, “sudah satu minggu lebih kau hilang tanpa kabar, kemana kau pergi?”

Rafli menatap wajah pacarnya, kemudian berkata perlahan dan sungguh-sungguh, “Aku tersesat ke negeri peri, El.”

“Tersesat? Ke...negeri peri???” Eliana benar-benar terkejut—dan dia terkejut mengapa dia harus terkejut.

Rafli mengangguk dengan lelah.

“Aku sudah berkali-kali menghubungi ponselmu, Raf,” kata Eliana lagi dengan sabar, “tapi tak pernah aktif. Kau mematikan ponselmu?”

“Baterainya habis, El,” terang Rafli dengan tampang jujur. “Aku memang sudah bawa charger di ranselku, tapi di negeri peri tak ada listrik untuk mengisi baterai ponselku.”

Eliana tak tahu harus menjawab apa atas keterangan yang wajar itu. Akhirnya dia hanya dapat mendesah perlahan, lalu berkata dengan sama perlahannya, “Kau mau menceritakannya?”

Dan Rafli pun menceritakannya.

Sore itu, cerita Rafli, dia memasuki lapangan basket di kampus mereka. Hari itu dia sudah ada janji dengan teman-temannya untuk bermain basket di sana—namun rupanya teman-temannya belum datang, dan lapangan basket masih sepi. Maka Rafli pun berencana untuk bermain-main sendiri, sebagai pemanasan, sambil menunggu kawan-kawannya datang.

Setelah mengganti baju dengan kaos basketnya dan setelah meletakkan ranselnya di tempat biasa, Rafli pun mulai memainkan bola basket yang biasa dia mainkan—di lapangan yang masih sepi itu. Suatu saat, ketika Rafli melemparkan bola ke arah keranjang yang berdekatan dengan dinding lapangan, bola itu melesat melewati keranjangnya, dan terus melaju menuju dinding. Rafli pun bersiap-siap untuk menangkap bola itu begitu ia memantul dari dinding, namun ternyata ‘kebiasaan’ itu tak terjadi.

Ketika bola basket itu menyentuh dinding di belakang keranjang, bola itu tidak memantul kembali seperti biasa—karena terhalang adanya dinding—namun menembus masuk dan melesat begitu saja ke dalam dinding itu.

Rafli melongo di tengah lapangan basket itu—memandangi bolanya yang kini hilang di balik dinding, dan dia pun mendekat ke arah dinding itu untuk mencari bolanya. Ketika tubuhnya mulai menyentuh dinding itu, Rafli mengira tubuhnya akan terhenti karena terhalang adanya dinding, namun ternyata tubuhnya pun bisa menembus dan melewati dinding itu—dan kemudian Rafli menyaksikan dimana bolanya tergeletak—jauh di balik dinding itu.

Rafli berencana untuk langsung mengambil bolanya, namun ia ingat bahwa ponselnya—ponselnya yang mahal dan Rafli sampai menabung selama berbulan-bulan untuk dapat membelinya—masih ada di dalam tas ranselnya dan dia tahu kalau di lapangan tak ada orang. Dia takut kalau ponselnya hilang, maka Rafli pun mengambil tas ranselnya, kemudian menembus dinding itu—meninggalkan lapangan basketnya.

Satu hal yang tak pernah diperkirakan oleh Rafli adalah; begitu ia menembus dinding itu, ia telah memasuki negeri lain di luar dunianya. Ketika ia tengah melangkah menuju bolanya dan sebelum ia menyadari tengah berada dimana, Rafli menyaksikan beberapa sosok perempuan yang sangat indah melayang turun dari atasnya—dan kemudian berdiri di hadapan Rafli, di belakang bola yang akan diambilnya.

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (7)