Dunia Tak Terlihat

Tetapi ternyata mereka salah sangka. Sesuatu yang telah dianggap selesai itu ternyata belum selesai.

Beberapa hari—bahkan lebih dari lima minggu—setelah kejadian itu memang tak terjadi apa-apa yang aneh atau janggal atau yang terkesan ‘eror’ pada diri Rafli, dan Eliana sudah bersyukur dalam hati bahwa cowoknya akan tetap ‘waras’ selamanya. Sudah tak ada Superman, tak ada Spiderman, juga tak ada kisah tersesat ke negeri peri. Cukup. Enough. Sudah selesai. Kini Rafli telah menjadi dirinya sendiri—menjadi pacarnya yang apa adanya—sesosok cowok berwajah innocent, kadang keluar sifat humorisnya, dan jagoan lapangan basket—itu sudah cukup bagi Eliana untuk mencintai cowoknya itu.

Namun, suatu hari, sesuatu yang tak pernah disangka-sangka Eliana kembali terjadi.

Pagi harinya, di kampus, mereka berencana untuk pergi ke Java Supermall sepulang kuliah, bersama beberapa kawan yang lain untuk melihat acara pameran elektronik yang diadakan di sana—konon pameran elektronik terbesar yang pernah diadakan di Semarang, dengan diskon harga yang besar-besaran. Eliana ingin membeli iPod, Diani ingin membeli laptop, teman yang lain ingin mengganti ponsel atau PDA mereka, sementara Rafli sendiri juga sudah berjanji—dan siap—untuk mengantar serta menemani mereka—khususnya menemani Eliana.

Sepulang dari kampus sekitar jam 11 siang, Rafli pamitan pada Eliana untuk mengambil mobilnya yang masih ada di bengkel—tak jauh dari kampusnya. Rafli terkadang membawa Escudo XL.7 milik bokapnya kalau kebetulan mobil itu tak dipakai orang rumah—dan mobil itu baru saja diservis berkala seperti biasa. Rafli menjanjikan untuk segera datang kembali ke kampus dan kemudian mereka akan berangkat bersama dengan memakai mobil itu.

Eliana pun setuju, dan bersama beberapa kawan yang lain dia menunggu di kantin kampus.

Sambil menunggu itu, Eliana bermain-main ponselnya, sementara teman-temannya yang lain saling bercakap-cakap dengan asyik. Sambil bermain-main ponsel, Eliana berpikir tak ada salahnya kalau ia berkirim SMS ke ponsel Rafli agar cowoknya itu tidak berlama-lama di bengkel—agar mereka tak terlalu lama menunggu.

Raf, buruan lho. Km ditunggu tmn2 dsini.
<11:12:35 WIB>

Rafli yang tengah melangkah di trotoar jalan merasakan ponsel di saku celananya bergetar, dan diambilnya ponsel itu. Saat dibacanya SMS itu, dia tersenyum sendiri. Semua cewek sama saja, batinnya. Ceriwis!

Dan Rafli tahu bahwa itu SMS yang tidak penting—setidaknya bukan SMS yang urgen atau mendesak yang perlu dibalas segera—tapi Rafli juga tahu kalau pacarnya itu pasti menunggu balasan atas SMS-nya itu meski itu SMS yang tidak penting—karena cewek memang begitu. Maka sambil tersenyum pula Rafli membalas SMS itu sementara kakinya terus melangkah di trotoar yang tak rata.

Iya, ni jg lg jln. Blm nyampe tuh bengkelnya.
<11:13:22 WIB>

Eliana menerima SMS balasan itu dengan senyumnya. Dia menyukai pacarnya itu karena Rafli selalu menunjukkan bahwa dia menganggap segala hal menyangkut pacarnya adalah PENTING dan Rafli selalu membuktikannya dengan responnya yang SEGERA. Ya, mungkin Rafli memang benar—cewek memang begitu!

Maka Eliana pun kembali membalas SMS itu.

Ntar kalo udh nyampe bengkel jgn lm2 lho. Ingat tmn2 nunggu km.
<11:13:37 WIB>

Rafli baru saja memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya kembali ketika ponsel itu bergetar dan berbunyi lagi. Diambilnya kembali ponsel itu dan dibacanya lagi SMS yang datang. Tuh kan, batinnya, semua cewek memang begitu!

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (15)