Dunia Tak Terlihat

Selama tinggal di negeri itu pula, Rafli jadi merasa tidak memiliki kegiatan apa-apa. Dia tak bisa kuliah seperti biasa, atau pun melakukan kegiatan-kegiatan lain yang biasa ia lakukan di dunianya. Satu-satunya kegiatan dan hiburan yang masih dapat dilakukan untuk mengisi waktunya di sana hanyalah bermain-main bola basketnya yang ikut terdampar di negeri itu.

Dan Rafli senang bermain bola basketnya itu karena setiap kali ia melempar-lempar bola, selalu saja ada peri yang tertarik dan datang menghampirinya, dan kemudian mereka akan bersama-sama memainkannya meski dengan versi yang berbeda—Rafli akan melemparkan bola itu setinggi dan secepat mungkin, sementara si peri akan terbang dan melayang untuk menangkap bola itu.

Ketika bermain-main dengan gembira seperti itu, Rafli terkadang terlupa untuk pulang—ia merasa betah berada di sana. Namun saat malam hari, ketika ia hendak tidur dan mendapati ponselnya tak bisa digunakan untuk menelepon atau berkirim SMS, Rafli pun tiba-tiba merasa kangen dengan rumahnya di dunianya, merasa rindu dengan pacarnya, juga dengan kawan-kawan kuliahnya.

Ketika Rafli membicarakan keinginannya untuk pulang atau menengok sejenak dunianya, Bunda Fricasvarillya memberikan pengertian kepadanya bahwa Rafli baru bisa meninggalkan negeri itu setelah ia mengembalikan raksasa Gonakareka ke penjaranya.

“Kau pasti akan pulang, Anakku,” kata Bunda Fricasvarillya dengan lembut, ketika mengetahui keinginan dan kerinduan Rafli. “Kau akan pulang setelah misi yang kau bawa telah kau tunaikan di sini.”

“Tapi, Bunda,” sanggah Rafli dengan gaya anak yang manja kepada ibunya—dia merasa sudah cukup akrab dengan bunda para peri itu, “saya ke sini tanpa membawa misi apa-apa—saya hanya mau mengambil bola basket saya yang masuk ke negeri ini, dan saya sama sekali tak tahu-menahu soal raksasa Gona-gona itu...”

Bunda Fricasvarillya tersenyum sabar. “Setiap manusia yang dikirim oleh sang Takdir ke negeri ini selalu membawa misi, Anakku. Begitu pula denganmu.”

Dan misiku adalah mengambil bola basketku, batin Rafli dengan tampang murung. Ataukah memang ada misi lain yang lebih mulia dari itu?

***

Raksasa Gonakareka akhirnya muncul juga pada suatu pagi menjelang siang, ketika Rafli tengah bermain-main bola basket dengan beberapa peri seperti biasa. Kedatangan raksasa itu tentu saja membuat seluruh negeri itu menjadi gempar dan Rafli melihat ratusan peri yang beterbangan dengan kacau-balau karena ketakutan. Salah seorang peri yang nampak begitu dewasa mengumumkan agar seluruh peri berkumpul di kediaman Bunda Fricasvarillya.

“Dia telah datang, Rafli,” kata Ratna dengan panik. “Raksasa itu telah datang ke sini!”

Secara spontan, Rafli pun ikut balik badan dan akan ikut lari meninggalkan tempat itu, namun Sibyan dan Ratna serta Lilya memeganginya.

“Kau harus tetap di sini, Rafli,” kata Sibyan dengan sungguh-sungguh, “kaulah yang akan menghadapinya.”

“Tap-tapi...aku...” Rafli tergagap. Bagaimanapun juga ia merasa takut kalau harus berhadapan dengan sesosok raksasa—meskipun ia belum tahu seperti apakah raksasa sialan itu.

“Tetaplah di sini,” tegas Havni, “kami akan bersamamu, menyertaimu, dan kami tak akan meninggalkanmu.”

Rafli pun akhirnya menguatkan dirinya sendiri dengan sisa-sisa keberanian yang dapat dikumpulkannya. Dia sengaja mendekap bola basketnya erat-erat ke tubuhnya agar tangannya yang gemetaran tak terlihat, dan dengan kaki yang juga sama gemetarannya, Rafli mulai merasakan tanah tempatnya berpijak terasa bergerak dan bergoyang. Oh gusti, sebesar apa raksasa itu...???

Bersambung ke: Dunia Tak Terlihat (11)