Seorang ibu muda berusia 27 tahun bernama Poppi, menemui dokter Giman, seorang psikiater yang dikenal sebagai ahli jiwa dan konseling perkawinan.
“Dokter,” kata Poppi di depan dokter Giman, “saya merasa sangat marah pada suami saya sehingga saya sampai menyebutnya sebagai lelaki bangsat. Kadang saya merasa kalau dia sangat keterlaluan, dan saya pun kadang pula merasa kalau saya pantas menyebutnya sebagai lelaki bangsat...”
Dengan sikap yang simpatik, Dokter Giman mendengarkan penuturan pasiennya itu, kemudian menyahut, “Hm...saya rasa panggilan itu berkesan penghinaan, Nyonya. Itu sepertinya sudah melampaui batas. Tapi, mungkin Anda punya alasan tersendiri mengapa Anda sampai menyebut suami Anda seperti itu? Ceritakanlah agar saya bisa membantu...”
Maka Poppi pun kemudian menceritakan, “Pada suatu malam kami berduaan di dalam mobil di tepi pantai, Dok. Lalu dia memegang tangan saya...”
Dokter Giman berpindah tempat duduk di samping pasiennya, lalu memegang tangan Poppi untuk memberikan contoh, kemudian berkata, “Dia memegang tangan Anda seperti ini...?”
“Ya, dia memegang tangan saya seperti Dokter memegang tangan saya sekarang ini,” ujar Poppi sambil mengangguk.
“Saya rasa, kalau hanya sekedar memegang tangan seperti ini, suami Anda tidak selayaknya disebut lelaki bangsat, Nyonya,” ujar Dokter Giman, “itu kan tanda kalau dia tidak ingin berpisah dengan Anda.”
“Tapi kemudian dia merapatkan bahunya dan memeluk saya, Dokter,” lanjut Poppi.
Dokter Giman merapatkan bahunya pada Poppi dan memeluk pasiennya itu, kemudian berkata, “Apakah dia melakukannya seperti ini...?”
“Ya,” jawab Poppi sambil mengangguk kembali.
Dokter Giman menarik napas, kemudian berkata, “Kalau hanya sekedar begini, rasanya tidak layak kalau Anda menyebutnya lelaki bangsat, Nyonya. Itu merupakan tanda kalau dia ingin selalu berdampingan dengan Anda...”
“Tapi dia kemudian mencium saya, Dokter,” lanjut Poppi.
Sekali lagi dokter Giman memberikan contoh dengan mencium pasiennya itu, kemudian bertanya, “Dia mencium Anda seperti ini?”
“Ya,” jawab Poppi, “ciumannya seperti yang barusan Anda lakukan.”
“Ah, kalau sekedar mencium seperti itu, rasanya masih belum layak kalau suami Anda disebut lelaki bangsat, Nyonya,” kata dokter Giman. “Itu kan tanda kalau dia sayang kepada Anda...”
“Tetapi dokter,” sela Poppi. “Setelah itu dia melepaskan seluruh pakaian di tubuh saya dan kami melakukan itu...”
Kembali dokter Giman memberikan contoh dengan melepaskan pakaian yang dikenakan Poppi, kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Poppi.
“Dia melepaskan semua pakaian Anda seperti ini?” tanya dokter Giman sambil memandangi tubuh pasiennya yang kini telah polos.
“Ya,” angguk Poppi, “dan kemudian dia mencumbui saya...”
“Seperti ini...?”
“Ya...seperti ini...”
Dan contoh pun terus berlanjut sampai dokter Giman dan pasiennya bercinta habis-habisan.
Setelah semua ‘contoh-contoh’ itu selesai diperagakan dan dokter Giman ngos-ngosan sambil mengenakan pakaiannya kembali, dia berkata pada pasiennya, “Ah, kalau memang begitu, rasanya suami Anda itu tetap belum layak disebut lelaki bangsat, Nyonya. Itu kan tanda kalau dia membutuhkan Anda...”
“Tapi dokter,” kata Poppi menjelaskan, “setelah itu dia memberitahu saya kalau dia telah mengidap AIDS.”
“HAAA...???” Dokter Giman terkejut setengah mati. “Bangsat! Kalau begitu dia memang lelaki bangsat, Nyonya! DIA MEMANG LELAKI BANGSAT...!!!”