Hati yang MemilihButuh waktu cukup lama untuk mengembalikan kesadaran Nathan dan Daniel yang telah dibawa oleh minuman keras. Ketika kemudian mereka mulai sadar dengan apa yang terjadi, Rafli pun mengeluarkan ultimatum, “Kita harus segera pulang ke Jakarta. Acara pemakaman Doni dilakukan besok pagi, dan kita semua harus hadir di acara pemakamannya.”

Maka menjelang subuh itu, dengan tubuh yang letih dan agak sempoyongan serta mata yang masih mengantuk serta kepala yang berat, mereka pun keluar dari villa. Ferry telah memanaskan mesin mobil, sementara Nathan mengunci pintu villanya. Perempuan teman kencan Nathan juga akan ikut pulang ke Jakarta.

Rafli menempati kursi di belakang setir, dan mobil pun melaju menembus dinginnya udara Bogor, menuruni jalan berliku menuju Jakarta. Di dalam mobil, Ferry masih merasakan kepalanya agak berat, dan pikirannya agak kacau. Nathan dan teman kencannya tampak terkantuk-kantuk dengan sisa-sisa mabuknya, sementara Daniel yang duduk di jok belakang tampak merokok untuk memerangi rasa kantuk di matanya. Rafli yang menyetir di depan juga tampak terus-menerus mengepulkan asap rokoknya sambil mengemudi. Tak ada yang punya niat untuk mengeluarkan suara.

Kemudian bencana itu mulai muncul. Saat melintasi jalan yang terus menurun dan berbelok-belok, Rafli yang belum sepenuhnya sadar dari mabuknya mulai tampak kewalahan mengendalikan mobil. Laju mobil itu terasa semakin cepat dan semakin cepat, sementara Nathan dan teman kencannya tampak makin pulas dalam tidur mereka. Daniel mulai berteriak-teriak dari belakang, sementara Ferry sangat risau.

“Lambatkan, Raf!” teriak Daniel berkali-kali dari jok belakang. “Lambatkan!”

“Remnya blong!” teriak Rafli pula dengan panik. “Atau kakiku yang blong!”

Dan mobil itu melaju semakin tak karuan melintasi jalan di depannya. Pada awal-awalnya Rafli masih berupaya mengendalikan mobil itu sekaligus mengendalikan kesadarannya dari rasa mabuk. Namun ketika jalan yang dilalui semakin menurun tak beraturan, dan mobil semakin sulit dikendalikan, Rafli pun mulai tampak pasrah.

Daniel yang pertama kali sadar bahwa di salah satu tikungan jalan yang menurun itu ada sebuah jurang menganga. Tetapi kesadarannya telah terlambat. Rafli tetap tak mampu mengendalikan setir, dan mobil itu pun terus melaju tak terkendali menuju jurang yang sejak tadi ditakutkan Daniel. Ferry yang semenjak tadi diam mulai mencari cara menyelamatkan diri.

Ketika akhirnya mata Ferry menyaksikan jurang di bawah yang dikatakan Daniel tadi, Ferry pun segera tahu bahwa mobil ini akan segera ‘transit’ di sana. Rafli jelas tak mampu menghentikan mobil ini, dan semua kawannya akan diajaknya menuju ke jurang itu. Saat mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi menuju jurang, Ferry nekat membuka handel pintu dan mendorongnya dengan tubuhnya. Detik-detik yang amat kritis itu pun terlewati. Pintu samping mobil terbuka, tubuh Ferry terlempar keluar dari dalam mobil, sementara mobil yang membawa semua kawannya terus melaju menuju jurang.

Dalam jatuhnya yang amat keras dari dalam mobil, kepala Ferry membentur sesuatu. Secara spontan jarinya meraba belakang kepalanya, dan dia merasakan darah yang mengalir. Kepala Ferry semakin terasa berat. Pandangannya mulai kabur. Dia merasakan tubuhnya berada di hamparan rumput yang empuk, dan pandangannya yang makin kabur menyaksikan hamparan langit yang mulai menyembunyikan bintang-bintang.

Perlahan-lahan kesadarannya mulai menghilang. Dan sebelum semua kesadarannya lenyap ditelan kabut yang amat gelap dirasakannya, Ferry mendengar suara ledakan dari dasar jurang...

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 97)