Siang itu, saat sedang tidur-tiduran di sofa setelah mengantarkan Anisa ke tempat kerjanya, Indra mendengar ponselnya berdering. Saat mengambilnya, Indra melihat sederet nomor tak dikenal tertera di layar ponselnya.

“Halo,” sapa Indra setelah membuka hubungan telepon.

“Halo, Indra?” suara di seberang sana.

“I-iya,” jawab Indra dengan ragu-ragu. Siapa yang tahu kalau yang di Semarang ini Indra? “Hm...siapa ini?”

“Ndra, ini Ferry.”

“SIAPA?” teriak Indra tanpa sadar.

“Ferry, Ndra, saudaramu!”

“Kau bercanda?!” Indra bertanya jengkel. “Siapa ini?”

“Aku Ferry, Ndra! Masak kau tidak mengenali suaraku?”

Indra menajamkan telinganya. “Tidak mungkin!”

“Ndra, sekarang panggilkan Mama, biar Mama meyakinkanmu kalau aku benar-benar Ferry!”

Sekarang Indra mulai mengenal suara itu. Suara yang mirip dengan suaranya sendiri. “Tapi... kau... Fer... kau...” Indra jadi gugup tak karuan.

Suara di seberang sana terdengar tertawa. “Aku tahu, aku tahu. Kau pasti menyangka aku telah mati!”

“Tapi kau benar-benar telah mati, Fer,” kata Indra dengan bingung. “Berita di televisi juga majalah-majalah itu...”

“Semua itu berita sialan!”

Indra semakin bingung. Ia kemudian bicara seperti tanpa sadar, “Tapi aku melihat penguburanmu, Fer, juga Papa dan Mama. Kami telah melihat kau dikubur...”

“Ndra, sekarang aku meneleponmu, dan aku ingin kau yakin aku masih hidup! Besok aku akan pulang ke Semarang!”

“Kau akan... apa?” Indra seperti belum juga sadar dari kebingungannya.

“Aku akan pulang ke Semarang dan mengakhiri permainan kita, Ndra. Sekarang aku menyadari permainan yang kita lakukan ini adalah permainan paling bodoh sedunia!”

Begitu meletakkan ponselnya setelah hubungan terputus, Indra seperti linglung. Apakah barusan ia berhalusinasi? Ataukah hanya mimpi? Tetapi ini bukan mimpi, dan Indra yakin yang baru saja didengarnya juga bukan halusinasi. Indra membuka ponselnya kembali dan melihat record nomor-nomor telepon yang telah menghubunginya, dan ia masih mendapati nomor Jakarta yang aneh itu.

Ferry... Benarkah orang yang meneleponnya itu Ferry? Indra tidak yakin. Tetapi jika mengingat suaranya, nada bicaranya, Indra tahu itu milik Ferry. Itu suara yang tak tergantikan. Tetapi bukankah Ferry telah mati? Indra telah menyaksikan penguburannya. Indra masih dapat mengingat kedua orang tuanya yang berdiri terpaku saat jasad Ferry dimasukkan ke liang lahat, sementara ribuan orang yang melayat tampak menyemut. Indra juga masih ingat bagaimana berita itu menjadi kehebohan di media massa, dan orang-orang menangisi kepergiannya. Semua berita dan semua orang meyakini artis Indra Gunawan telah mati, tewas dalam kecelakaan yang tragis. Dan mereka semua tak ada yang tahu bahwa itu adalah Ferry. Tetapi sekarang Ferry masih hidup dan baru saja meneleponnya...

Indra merasakan kepalanya berputar-putar, dan pandangannya berkunang-kunang. Ya Tuhan, apa yang tengah terjadi ini...?

Saat Indra memejamkan mata di atas sofa sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut-denyut, ibunya lewat dan melihatnya.

“Kenapa, Ndra?” tanya Silvia, khawatir kalau Indra sakit.

Indra membuka mata dan memandang ibunya. “Ma, Ferry masih hidup.”

“Jangan ngawur. Yang sudah lalu tidak usah diingat-ingat lagi, Ndra,” ujar Silvia dengan lirih.

“Tapi Ferry benar-benar masih hidup, Ma!”

Silvia mengerutkan kening. “Kau kena demam lagi?” Lalu menyentuhkan punggung tangannya ke dahi Indra. “Tapi keningmu dingin, Ndra,” ujar Silvia kemudian.

“Ma, saya tidak apa-apa!” Indra tidak tahu bagaimana cara membuat ibunya percaya. “Saya cuma ingin memberi tahu kalau Ferry masih hidup, dan barusan dia menelepon saya!”

Silvia kini tampak tidak sabar. “Ndra, tanggal perkawinanmu dengan Anisa sudah ditentukan, dan tak lama lagi kau akan menikah. Jangan menunjukkan tanda-tanda keanehan yang bisa membatalkan pernikahanmu.”

Indra memegangi kepalanya lagi. “Oh, bagaimana saya harus membuat Mama percaya???”

“Mama sudah merelakannya, Ndra,” jawab Silvia perlahan. “Mama pun berharap kau juga merelakannya. Ferry sudah tak ada, dan kau tidak perlu terus mengingatkannya...”

“Tapi besok dia akan pulang, Ma!” Indra bersikeras. “Tadi Ferry mengatakan, besok dia akan kemari!”

Silvia tersenyum letih. “Sebaiknya kau istirahat. Mungkin kau agak tegang menunggu hari perkawinanmu.”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 94)