
“Ada sesuatu?” tanya Anisa kemudian karena suasana yang terlalu hening.
“Ya,” jawab Indra tiba-tiba, “ada sesuatu...yang ingin kukatakan kepadamu.”
“Tentang...?”
Indra menatap mata Anisa, “Tentang hatiku.”
Anisa tak lagi membalas tatapan indra. Ia menundukkan wajahnya.
“Anisa,” kata Indra perlahan, “aku merasa... aku harus menyatakan kepadamu. Aku mencintaimu...”
Anisa mengangkat wajahnya, sejenak membalas tatapan Indra, kemudian menunduk kembali.
Indra berkata, “Aku tahu mungkin aku tak layak mengungkapkan ini kepadamu, karena kau kekasih Ferry. Aku tahu Ferry telah menyita semua ruang di hatimu. Tapi, maukah kau menyisakan sebagian ruang itu untukku?”
“Ndra, aku merasa tak mungkin menggantikan Ferry dengan orang lain,” kata Anisa perlahan, “tapi aku juga menyadari, sebesar apapun cintaku pada Ferry, dia telah berlalu...”
“Bolehkah aku menetap di tempat yang dulu milik Ferry di hatimu?” tanya Indra perlahan. “Bukan sebagai penggantinya, tapi sebagai cinta yang baru...?”
Anisa merasakan debaran jantungnya bergemuruh sebelum ia dapat menganggukkan kepalanya.
***
Semenjak kejujuran hati itu diungkapkan, kebersamaan Indra dengan Anisa pun mengalami banyak perubahan. Mereka tak lagi sekadar dekat, namun juga mesra.
Kedekatan itu pun tercium orang tua Indra. Suatu hari, ibunya menanyakan hal itu.
“Ndra, Mama lihat kau sepertinya makin dekat dengan Anisa,” kata Silvia memulai.
Indra menjawabnya dengan singkat, “Kami sudah jadian, Ma.”
“Kau sungguh-sungguh?” Silvia seperti tak percaya pada jawaban itu.
Indra mengangguk dengan yakin.
Silvia berkata serius, “Kau tidak cuma ingin main-main seperti dulu, kan?”
“Ma, saya tidak ada niat main-main dengan Anisa,” jawab Indra sungguh-sungguh.
“Dan Febiola...?” tanya Silvia mengingatkan.
“Ada apa dengan Febi?”
“Dia bukan pacarmu?”
Indra tertawa kecil. “Ma, saya kan bukan artis seperti dulu. Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Febi.”
Silvia menatap Indra. “Kau benar-benar serius dengan Anisa?”
Indra berucap pasti, “Mama bisa pegang janji saya.”
Indra pun benar-benar menepati janjinya. Setelah meyakini bahwa Anisa cinta sejatinya, Indra meminta keluarganya untuk melamar Anisa. Itu hanya berselang satu bulan sejak dia menyatakan cintanya.
Kemudian, selang dua bulan kemudian, kedua orang tua masing-masing mulai membicarakan waktu perkawinan mereka.
***
Febiola merasa dikalahkan—dan dia tidak terbiasa dikalahkan. Semenjak menyadari keindahan yang dimilikinya, Febiola tahu bagaimana caranya menang dan menjadi pemenang. Ia tahu bagaimana cara menjadi perempuan sejati, dan ia pun tahu bagaimana menundukkan lelaki manapun yang ia inginkan. Ia tidak biasa dikalahkan, apalagi dikalahkan seorang perempuan seperti Anisa. Indra benar-benar buta, pikirnya. Bagaimana mungkin dia bisa menyisihkan dirinya dari perempuan kampungan macam itu?
Semenjak SMA, Febiola tahu semua karakter laki-laki, dan ia pun tahu cara menundukkannya. Tetapi Indra seperti benteng tak tertembus. Ada kalanya Febiola merasa telah menyentuh inti kelemahan lelaki itu, namun ada kalanya pula ia merasa tak yakin. Febiola tahu bahwa kesulitannya yang terutama adalah karena kehadiran Anisa, yang seharusnya telah hilang seiring dengan tiadanya Ferry.
Dulu, saat pertama kali melihat Ferry di rumah sakit, Febiola benar-benar terkejut karena tidak tahu Indra punya saudara kembar. Ia mengira itu benar-benar Indra. Tetapi Febiola tahu, tak peduli itu Indra atau pun saudara kembar Indra, dia menginginkannya. Dan jika Febiola menginginkannya, dia harus memperolehnya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 92)