Hati yang MemilihSetelah puas menyiksa korbannya, dan setelah puas bermain-main dengan ponsel yang sejak tadi ditimang-timangnya, Febiola memutuskan, “Aku ambil yang ini.”

Anisa mengangguk, mengambil buku daftar harga, dan menyebutkan harganya yang tiga juta lebih.

“Aku bayar pakai kartu kredit,” kata Febiola dengan angkuh.

Tanpa banyak kata, Anisa pun mengantarkan Febiola menuju meja Om Kris untuk pelayanan kartu kreditnya. Lalu segera kembali ke tempatnya semula untuk menyiapkan nota pembelian ponsel tersebut, dan berharap agar si monster segera enyah dari dealernya.

Tetapi Febiola ternyata tak langsung pergi setelah transaksi pembelian itu selesai. Ia kembali ke tempat Anisa berada.

Sekali lagi Anisa melayaninya dengan sikap yang ramah. Febiola menginginkan voucher pulsa yang seratus ribu rupiah. Anisa pun mengambilkannya. Di dealernya, voucher pulsa seratus ribu dihargai sembilan puluh ribu rupiah.

“Pakai kartu kredit juga?” tanya Anisa nekat.

Febiola hanya melotot. Ia mengangsurkan selembar uang seratus ribuan. Anisa mengambil uang kembalian, tapi Febiola telah melangkah keluar.

“Kembaliannya...” Anisa mengingatkan Febiola.

“Buatmu!” jawab Febiola sambil melambaikan tangannya dengan angkuh. Ia terus melangkah keluar dealer.

Anisa terduduk di atas kursinya dengan perasaan tak karuan, menatap hampa pada mobil Febiola yang berlalu.

***

Indra datang selang beberapa menit setelah itu. Dealer baru saja tutup, dan Anisa muncul dari dalam. Wajahnya terlihat keruh. Ia pun segera melangkah ke tempat Indra yang telah menunggunya.

“Ada masalah?” tanya Indra melihat Anisa tidak secerah biasanya.

“Tidak apa-apa,” jawab Anisa pendek. Tapi nada suaranya menunjukkan ada masalah.

“Pasti ada apa-apa,” tanggap Indra. “Keberatan kalau aku tahu?”

Anisa terdiam sesaat, kemudian berujar, “Barusan cewekmu datang kemari.”

“Cewekku?” Indra terbelalak. “Cewekku siapa?”

“Itu, maksudku, cewek yang menjengukmu waktu kau sakit,” jawab Anisa.

“Febi?”

“Jadi namanya Febi?” Anisa baru tahu.

“Namanya Febiola. Dia bukan cewekku.” Indra menegaskan.

Anisa tak berkomentar.

Indra jadi penasaran. “Hei, mengapa Febi kemari dan kemudian kau jadi keruh begitu?”

Anisa jadi tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Kau ada-ada saja!”

“Tapi benar, kan? Mau apa Febi tadi kemari?”

“Mau apa lagi? Dia beli ponsel,” jawab Anisa singkat.

“Jadi, Febi ke sini dan beli ponsel, lalu wajahmu jadi keruh?” Indra bertanya sambil tersenyum.

“Dia... dia sepertinya tak menyukaiku,” jawab Anisa kemudian dengan serba salah.

***

Kedekatan yang terbangun kembali antara Indra dengan Anisa kini terjalin dengan lebih dekat dibanding sebelumnya. Anisa telah menyadari sepenuhnya bahwa sosok yang bersamanya sekarang adalah Indra, bukan Ferry, bukan kekasihnya yang dulu.

Dari kedekatan yang semakin erat itu pulalah Indra semakin yakin dengan perasaannya. Ia tahu sejak pertama kali bahwa itu perasaan cinta, hanya saja selama ini ia ragu untuk mengakuinya. Dan sekarang, setelah yakin dengan perasaannya, Indra pun bertekad untuk menyatakannya.

Maka begitulah, suatu malam saat menjemput Anisa dari tempat kerjanya, Indra mengajak Anisa ke sebuah rumah makan yang cukup romantis, dan mereka pun menikmati makan malam dengan suasana yang hening.

“Tidak biasanya kita kesini,” kata Anisa setelah mereka menyelesaikan makan.

“Sekali-sekali aku ingin menikmati suasana yang lebih hening bersamamu,” jawab Indra. Mereka duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja bundar dengan dua gelas yang hampir kosong di atasnya.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 91)