Hati yang MemilihAnisa menepati janjinya pada Indra. Keesokan harinya, ia kembali datang dengan membawakan nasi kebuli lagi seperti yang dijanjikannya kemarin. Anisa sengaja datang menjelang dhuhur, agar sepulangnya nanti bisa sekalian langsung menuju ke tempat kerjanya.

Keadaan Indra sudah lebih baik dibanding kemarin. Wajahnya sudah tampak segar, dan tubuhnya pun tidak selemah sebelumnya. Ketika Anisa menemuinya, ia mendapati Indra sedang duduk menyandar pada bantal sambil membuka sebuah majalah di tangannya.

“Anisa,” sapa Indra dengan senang saat melihatnya datang, dan segera meletakkan majalahnya di atas meja.

Anisa tersenyum. “Aku bawakan nasi kesukaanmu lagi. Kau sudah makan?”

“Untung saja aku belum makan,” kata Indra dengan tersenyum.

Anisa segera membuka bungkusan yang dibawanya, mengeluarkan kotak kardus, dan memberikannya pada Indra.

“Perlu kupegangi kardusnya?” tanya Anisa.

“Tidak perlu,” jawab Indra. “Aku sudah lebih kuat sekarang.”

Anisa pun duduk, dan Indra memulai makan siang lezatnya. Duduk sambil memandangi Indra yang sedang makan seperti itu membuat Anisa teringat kembali pada Ferry. Dan sekali lagi Anisa merasakan déjà vu. Dulu dia pernah mengalami saat-saat seperti ini. Saat masih memiliki Ferry, saat kekasihnya sakit dan ia menjenguknya dan membawakan makanan kesukaannya...

“Kok melamun?” tegur Indra.

Anisa menggelengkan kepalanya. “Tidak. Lanjutkan makanmu.”

Untuk menghindari lamunan seperti tadi, Anisa pun mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar itu, menikmati suasana baru yang diciptakan Indra di kamar yang dulu milik Ferry. Anisa melihat tempat tidurnya masih sama. Lemari dan mejanya juga sama. Hanya sekarang ada beberapa perubahan pada hiasan dinding. Dulu Ferry menempelkan hiasan etnik seperti topeng suku Indian dan beberapa lukisan abstrak, namun sekarang hiasan dindingnya telah berganti dengan poster-poster group musik berukuran besar.

Saat mengikuti pandangannya melewati poster demi poster yang tertempel di dinding, Anisa merasa tercekat. Kemarin saat masuk ke kamar ini dia tidak sempat memperhatikannya, namun sekarang dia melihatnya. Salah satu poster yang tertempel di situ bukan poster group musik. Juga bukan poster artis. Itu adalah poster fotonya!

“Kau tidak keberatan, kan?” tanya Indra tiba-tiba saat melihat Anisa masih memandangi poster dirinya yang tertempel di dinding itu.

Anisa menoleh ke arah Indra dan menyahut dengan tergagap, “Aku...eh, aku tidak menyadari kalau ada poster fotoku di situ.” Kemudian Anisa kembali mengarahkan pandangannya ke poster itu. “Apakah Ferry yang membuatnya?”

Indra mengambil sesuatu dari balik keranjang buah yang ada di atas meja dekat tempat tidurnya. Anisa melihat sebuah bingkai foto dirinya. Anisa tahu itu adalah bingkai foto yang dulu juga ada di kamar ini saat Ferry yang menempatinya.

“Aku menemukan ini di meja,” kata Indra sambil memperlihatkan bingkai foto itu. “Lalu kubawa ke studio untuk diperbesar jadi poster. Kau tidak keberatan, kan?”

“Aku... eh, tidak...” jawab Anisa kebingungan. “Tapi... tapi... mengapa?”

Indra tersenyum. Kemudian menatap ke arah poster itu, dan menjawab, “Karena aku suka memandangmu.”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 86)