
“Terima kasih kau mau datang,” kata Indra.
“Maafkan aku baru bisa menjengukmu sekarang,” ujar Anisa dengan kikuk. “Kau...kau pasti sakit karena sering kehujanan waktu menjemputku.”
“Tidak juga,” jawab Indra.
“Aku... aku harus minta maaf atas semua yang terjadi kemarin.”
Indra menggelengkan kepalanya. “Kau tidak perlu minta maaf untuk apapun.”
“Aku telah banyak menyusahkanmu, Ndra.”
Indra tersenyum. Itu sapaan Anisa yang pertama kali terhadap namanya setelah ‘permusuhan’ kemarin. Lalu dia berkata, “Aku pernah mengatakan padamu, aku selalu senang melakukannya.”
“Tapi...akibatnya seperti ini. Kau jadi sakit.”
“Paling beberapa hari lagi sudah sembuh,” jawab Indra membesarkan hati Anisa.
Mereka terdiam, kemudian Anisa teringat pada bungkusan yang dibawakannya untuk Indra.
“Kau sudah makan?” tanya Anisa. “Aku bawakan makanan untukmu.”
Indra seperti tak punya kekuatan untuk menolak. Maka dia pun menganggukkan kepalanya. Anisa mengambil bungkusan yang tadi dibawanya, dan mengeluarkan sebuah kotak kardus dari dalam plastik. Saat dibukakannya di hadapan Indra, Anisa tersenyum melihat mata Indra yang berbinar. Indra menyaksikan nasi kebuli yang kelihatan sangat lezat dalam kotak kardus itu.
“Ferry menyukai nasi kebuli,” kata Anisa, “dan kupikir...kau mungkin juga menyukainya.”
“Aku sangat menyukainya,” jawab Indra sambil tersenyum senang.
Anisa pun menyiapkan sendok plastik yang terdapat dalam kotak kardus nasi, sementara Indra mengangkat tubuhnya untuk duduk. Ia kemudian bersandar pada bantal yang ditegakkan.
Anisa memberikan kardus nasi itu, dan Indra menerimanya. Tapi kemudian Indra merasakan tangannya begitu lemah dan merasa berat menyangga kardus nasi. Maka ia pun bertanya, “Kau mau memegangi kardus ini? Tanganku lemah sekali.”
Anisa mengangguk. Indra mulai menyuapkan nasi ke mulutnya, sementara Anisa menyangga kardus di tangannya. Anisa senang melihat Indra yang begitu menikmati nasi yang dibawakannya.
Setelah Indra menghabiskan nasinya, Anisa mengulurkan air putih dalam gelas kepadanya. Indra pun segera meminumnya.
“Besok aku pasti sudah sembuh,” kata Indra dengan wajah berbinar. Sekarang wajahnya tak sepucat tadi. “Aku makan banyak sekali...”
Anisa tersenyum. “Besok akan kubawakan lagi.”
“Tidak perlu,” jawab Indra membalas senyum itu. “Besok aku pasti sudah bisa mengajakmu makan nasi kebuli bersama.”
Senyum mereka bertaut. Tatapan mereka bertemu. Dan sekali lagi kamar menjadi sunyi. Ada banyak kata yang diucapkan dari hati ke hati.
***
Sekeluar dari kamar Indra tadi, Febiola melangkah ke ruang tamu, dan sudah berencana untuk pulang. Tetapi di ruang tamu ia bertemu dengan ibu Indra yang segera saja mengajaknya berbincang-bincang.
Merasa telah cukup akrab, Febiola pun melayani perbincangan itu dengan santai dan lebih terbuka. Beberapa kali mereka bahkan sempat bercanda tentang hal-hal tertentu. Sementara sampai saat itu, Anisa tetap belum tampak keluar juga dari kamar Indra.
“Yang tadi itu, pacar Ferry ya, Tante?” tanya Febiola kemudian.
Silvia tidak langsung menjawab, namun menatap Febiola dengan sungguh-sungguh. “Febi, Tante boleh tahu kapan kau kenal dengan Ferry?”
“Sudah cukup lama, Tante,” jawab Febiola sambil mengingat-ingat waktunya. “Kalau tidak salah, beberapa bulan sebelum saudara kembar Ferry mengalami... kecelakaan itu.”
“Febi,” ujar Silvia kemudian, “kalau Tante ingin mengatakan sesuatu kepadamu, kau mau menjaganya?”
“Tentu saja, Tante,” jawab Febiola meyakinkan.
Silvia menatap Febiola. “Menurutmu, siapa yang telah kautemui di kamar tadi? Indra atau Ferry?”
“Ferry kan, Tante?”
Silvia menggelengkan kepala. “Bukan. Dia Indra.”
“Haa?” Buru-buru Febiola menutup mulutnya yang terbuka dengan tangannya. “Mm... maksud Tante?”
“Ferry telah meninggal dunia,” kata Silvia dengan halus. “Yang tadi kautemui itu Indra.”
“Saya... saya tidak mengerti, Tante.”
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 84)