Hati yang MemilihSemenjak tahu bahwa Febiola adalah putri konglomerat, sang pengusaha besar Surya Hadi, sambutan Silvia terhadap Febiola pun berubah menjadi lebih ramah. Dua hari setelah kedatangannya yang pertama, Febiola kembali datang. Kali ini pada suatu pagi menjelang siang, dan kembali membawa sekeranjang besar buah-buahan. Saat membukakan pintu untuknya, Silvia pun menyambutnya dengan senyum lebar.

“Jadi kau putrinya Pak Surya?” tanya Silvia dengan ramah setelah mempersilakan Febiola masuk.

Febiola mengangguk dan tersenyum manis.

“Tante juga kenal dengan papa-mamamu.” Silvia mengatakannya dengan senang. “Sampaikan salam Tante untuk mamamu, ya?”

“Iya, Tante,” jawab Febiola dengan senyum manis yang sama.

Silvia pun menuntun Febiola menuju ke kamar Indra.

Indra masih tampak pucat dan tubuhnya masih lemah.

“Hei,” sapa Febiola dengan ceria.

“Hei,” balas Indra dari tempat tidurnya.

Silvia segera berlalu, dan Febiola duduk di dekat Indra berbaring. Setelah menaruh keranjang besar yang dibawanya ke atas meja, Febiola pun segera menyampaikan tawarannya seperti kemarin. Apel? Anggur? Pepaya? Mangga?

“Kau bawa durian?” tanya Indra sambil tersenyum.

“Jadi kau benar-benar ingin durian?” Febiola tertawa. “Jangan khawatir. Kalau kau sudah sembuh, kita akan cari durian sebanyak-banyaknya!”

Indra selalu terhibur dengan gaya Febiola yang ceria dan penuh senyum, dan itu kemudian dikatakannya pada Febiola. “Aku jadi merasa lebih sehat kalau sudah melihatmu.”

“Wah, bahaya tuh,” kata Febiola sambil tersenyum. “Kalau tiap orang sepertimu, apotek bakal bangkrut!”

Indra pun tertawa.

“Nah, kau ingin apa sekarang?” Febiola kembali menawarkan. “Anggur? Apel?”

***

Saat Indra sedang bercanda dengan Febiola, Anisa datang ke sana dan kini tengah berjalan di halaman rumah dengan membawa bungkusan di tangannya. Silvia yang masih duduk-duduk di ruang tamu segera melihatnya, dan segera membukakan pintu untuknya.

“Anisa...” sapa Silvia dengan senyum ramah seperti biasa.

Anisa mencium tangan Silvia, kemudian bertanya, “Indra ada kan, Bu?”

“Tentu saja,” jawab Silvia dengan ramah. “Dia ada di kamarnya. Badannya masih lemah. Ayo, Ibu antar kesana.”

Silvia pun membawa Anisa menuju kamar Indra. Sesampai di depan pintu kamar yang terbuka, langkah Anisa tertahan tiba-tiba. Indra sedang tertawa-tawa dengan sesosok perempuan yang tak ia kenal.

“Hei, Nis...” sambut Indra yang melihat kedatangan Anisa.

Anisa tersenyum pada Indra yang masih terbaring di atas tempat tidur, kemudian melangkah ke dalam kamar. Diletakkannya bungkusan yang dibawanya di atas meja, di sebelah keranjang besar yang sudah ada di sana.

“Sudah agak baikan?” tanyanya kemudian.

“Lumayan,” jawab Indra.

Anisa menarik kursi yang ada di bawah meja, kemudian duduk di atasnya. Lalu kamar itu pun sunyi. Tiba-tiba suasana jadi sangat kikuk.

Febiola berpikir, mungkin inilah pacar Ferry. Sementara Anisa sama sekali tak tahu siapa perempuan yang ada di hadapannya, dan dalam hati bertanya-tanya, apakah ini pacar Indra?

Febiola masih duduk di pinggiran tempat tidur, berdekatan dengan Indra. Tetapi kemudian dia menyadari bahwa tempat yang didudukinya sekarang lebih layak jika ditempati Anisa. Maka Febiola pun kemudian berdiri dan berkata sesopan mungkin, “Hm, mungkin sebaiknya aku keluar dulu.”

Bersamaan dengan itu, Anisa juga melakukan hal yang sama.

Mereka saling berpandangan dengan kikuk, dan salah tingkah. Febiola terlebih dulu sadar dan mengatakan, “Aku sudah dari tadi, kok.” Lalu Febiola pun keluar dari kamar, meninggalkan Indra bersama Anisa.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 83)