Hati yang MemilihTetapi kemudian, seiring waktu yang berjalan, dan setelah dia berhasil meredakan kesedihannya perlahan-lahan, tangis kehilangannya pun mulai mengendap menjadi rasa penerimaan terhadap takdir dan kenyataan. Pada saat itu, Anisa pun mulai menyadari bahwa Indra juga merasakan kesedihan yang sama, rasa kehilangan yang sama, bahkan mungkin juga rasa bersalah yang amat besar karena telah melakukan permainan tukar tempat yang menyebabkan tewasnya Ferry. Dan dalam kecamuknya perasaan itu, Anisa telah menambah beban batin Indra dengan kemarahannya, dengan sikap kebenciannya. Sekarang Anisa dapat membayangkan tersiksanya hati Indra di waktu-waktu itu...

Dan sekarang Indra sakit. Anisa yakin itu pasti akibat kehujanan beberapa malam saat ia menjemput dirinya. Sekarang lelaki itu tak bisa menjemputnya lagi. Anisa merasa kehilangan. Tiba-tiba dia juga merasa bersalah kepadanya.

Anisa kembali meremas jemarinya dengan perasaan tak karuan, sementara senja mulai turun di bumi Semarang.

***

Setelah Febiola berpamitan untuk pulang dan berlalu dari rumahnya, Silvia pun segera menemui Indra di kamarnya.

“Siapa tuh, Ndra?” tanya Silvia.

“Febi, Ma,” jawab Indra pendek.

“Siapa tuh Febi?”

“Febiola. Putri Om Surya, pemilik Batik Surya Hadi itu.” Indra menjelaskan.

Silvia mengerutkan kening. Dia tentu saja kenal dengan Surya Hadi, salah satu pengusaha batik besar di Semarang yang juga beberapa kali pernah berhubungan dengan suaminya. Dia sama sekali tak menyangka kalau tadi itu putrinya.

“Kau kenal dimana?” tanya Silvia kemudian.

“Ferry yang kenal, saya cuma melanjutkan,” jawab Indra sambil tersenyum.

“Sudah lama kenalannya?”

“Lumayan.” Indra mengambil beberapa butir anggur dari keranjang yang dibawakan Febiola, kemudian mengunyahnya dengan nikmat.

“Kau sepertinya sudah mulai sembuh?” tanya Silvia dengan tersenyum.

Indra pun tersenyum menangkap pandangan ibunya yang tampak ceria. “Mama juga tampak bahagia?”

Silvia tertawa. “Bagaimana Mama tidak bahagia kalau melihatmu mulai sembuh? Oh ya, kau sudah sering dolan ke rumah Febi?”

“Kadang-kadang.”

“Sudah bertemu dengan mamanya?” tanya Silvia seperti ingin memastikan.

“Seminggu yang lalu saya malah sempat mengantarkan mereka pulang, waktu Febi ada acara fashion di Tirta Kencana.” Indra menuturkan. “Memangnya Mama kenal sama mama Febi?”

“Kami beberapa kali bertemu waktu ada acara kumpulan para pengusaha,” Silvia menjelaskan. “Papamu juga beberapa kali menjalin kerjasama dengan papa Febi.”

“Jadi Mama kenal sama mereka?” Indra jadi tertarik.

“Orang tua Febi? Papamu juga kenal sama mereka.”

Indra kembali memungut beberapa butir anggur dari keranjang, dan kembali mengunyahnya dengan nikmat.

“Ndra, tadi acara apa yang kauceritakan itu?”

“Acara apa?” tanya Indra yang jadi bingung.

“Itu, yang tadi kauceritakan waktu kau mengantar Febi sama mamanya itu.”

“Oh itu, seminggu yang lalu Febi ada acara fashion di Tirta Kencana,” Indra menceritakan. “Itu pagelaran batiknya Om Surya. Saya datang kesana karena diundang Febi. Waktu Febi sama mamanya mau pulang, Om Surya belum bisa langsung pulang karena masih ada urusan. Sementara mama Febi sepertinya sudah tidak betah di sana. Jadi saya tawarkan untuk mengantarkan mereka pulang.”

“Jadi Febi tuh pragawati?” tanya Silvia seperti baru memahami.

“Iya,” jawab Indra.

Silvia kemudian membayangkan sosok Febiola yang tadi dilihatnya. Gadis itu memang sangat cantik. Juga penuh keceriaan. Kemudian angannya berganti pada sosok Anisa yang lembut. Dan mencoba membayangkan keduanya.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 82)