
“Mungkin kau kena anemia, Nis. Pernah periksa tensi darahmu?”
Tapi waktu itu Anisa tengah merasakan kepalanya yang berat dan berputar-putar hingga tak terlalu menghiraukan ucapan Indra. Sekarang dia mengingatnya. Bahkan mengingatnya dengan jelas. Dia sama penuh perhatiannya seperti Ferry.
Kemudian angan Anisa terbang ke malam-malam sebelumnya, ke hari-hari sebelumnya. Saat dia demam karena kehujanan, lelaki itu datang dan Anisa sama sekali tak mengetahui kalau itu bukanlah Ferry. Dia datang dengan kekhawatiran dan wajah penuh prihatin. Kemudian mereka berbincang-bincang di kamarnya tanpa sedetik pun Anisa menyadari bahwa itu bukanlah kekasihnya. Anisa masih ingat perhatian dan pertanyaannya saat itu...
“Kau ingin sesuatu?”
“Kalau kau tidak ada keperluan lain, aku hanya menginginkan kau tetap di sini.”
Dan lelaki itu menuruti keinginannya. Indra yang artis populer itu menemaninya. Membantunya minum, mengupaskan buah-buahan, menyuapi makan untuknya dengan penuh sayang. Dan kemudian dia melihat bungkusan ponsel baru itu...
Dia melakukan hal yang tepat sama seperti yang biasa dilakukan Ferry untuknya. Bagaimana mungkin Anisa dapat membedakannya...? Hingga beberapa hari setelah itu, ketika Anisa menyadari ponsel itu telah terbayar...
“Fer, aku selaluuu membuatmu repot dan susah.”
“Oh ya? Aku tidak pernah menyadarinya.”
“Seharusnya kau tidak melakukan itu, Fer. Itu tanggung jawabku.”
“Melakukan apa?”
“Kau tidak perlu mengganti ponsel itu...”
“Oh, itu.”
“Fer, kau tidak perlu mengganti ponsel itu. Aku sudah berjanji pada Om Kris untuk mencicilnya dengan gajiku.”
“Kau tidak perlu melakukannya.”
“Kau juga tidak perlu melakukannya. Aku...telah banyak membuatmu susah. Aku...”
“Lupakan saja.”
Anisa merasakan sesuatu berdesir dalam hatinya. Waktu itu dia menyangka sosok yang bersamanya adalah Ferry, tetapi ternyata Indra. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya selama ini...?
Bayangan demi bayangan kemudian semakin mengaduk-aduk angan Anisa. Saat-saat di UKM Pers, ketika dia merasa hampir pingsan karena merasakan kepalanya yang tiba-tiba terasa berat, Indra juga menunjukkan kekhawatiran yang sama besarnya seperti yang selalu ditunjukkan oleh Ferry. Anisa juga tak dapat melupakan saat ia merebahkan kepalanya di paha Indra... Wajah mereka begitu dekat, saat itu, dan Anisa menatap wajah Indra yang menunduk memandanginya... Dan mata mereka bertatapan... Ya Tuhan, mengapa aku tak menyadari kalau itu bukanlah kekasihku...?
Waktu itu, Anisa merasakan debar yang sama, getar yang sama, juga kebahagiaan yang sama seperti yang biasa dirasakannya saat berdekatan dengan Ferry, saat bertatapan dengan Ferry.
Mengapa alam melakukan kekeliruan seperti ini...?
Anisa meremas jemarinya sendiri dengan gelisah. Apa yang tengah terjadi dengan dirinya? Pada mulanya, Anisa merasa sangat marah pada Indra karena merasa dipermainkan. Anisa juga merasa benci pada Indra ketika menyadari bahwa Ferry telah meninggal dalam kecelakaan itu karena menggantikan tempatnya di Jakarta. Anisa merasa telah dibohongi, dikhianati, dan dipermainkan.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 81)