
“Saya mau menjenguk Ferry, Tante,” sapa Febiola dengan manis. “Kemarin saya menelepon Ferry, dan katanya dia sakit.”
Silvia pun segera mempersilakannya masuk dengan ramah. Febiola duduk di ruang tamu. Silvia segera menemui Indra yang terbaring di atas tempat tidur di kamarnya.
“Ndra, ada yang mau menjengukmu,” kata Silvia.
“Siapa, Ma?”
“Mama baru lihat,” jawab ibunya. “Kau yang akan menemuinya di depan, atau dia yang disuruh kemari?”
Indra mencoba mengangkat tubuhnya, namun tampak kepayahan. Ibunya segera memutuskan, “Ya sudah, biar Mama suruh dia ke sini saja.”
Tak lama kemudian, Febiola pun telah berdiri di ambang pintu kamar Indra.
“Hei,” sapa Febiola dengan manis seperti biasa.
Indra tersenyum lemah dan membalas sapaan Febiola dengan sama lemahnya.
Febiola mendekat ke tempat tidur Indra, meletakkan keranjang buah-buahan yang dibawanya di atas meja, kemudian duduk di pinggir tempat tidur.
“Jadi, kau benar-benar sakit ya?” tanya Febiola sambil tersenyum.
Indra membalas senyum Febiola. “Kau kira aku membohongimu?”
“Kau ingin makan sesuatu? Aku bawakan kau macam-macam, tuh.”
Mau tak mau Indra tersenyum melihat keceriaan di wajah Febiola. Perempuan ini seperti tak pernah sedih. Kehadirannya selalu mampu membuat orang lain tersenyum.
“Bawa apa lagi?” tanya Indra yang tertarik dengan tawaran itu.
Febiola memeriksa keranjang besar yang dibawanya, lalu menyebutkan beberapa isinya, “Ada pepaya, mau? Apel, mangga, anggur, pir, sirsak...”
Indra mendengar daftar itu sambil berpikir kamarnya telah menjadi pasar buah-buahan.
“Kenapa kau tidak bawakan durian sekalian, Feb?”
Febiola tertawa kecil. “Aku sih mau-mau saja membawakanmu durian, Fer. Tapi itu kan tidak umum untuk menjenguk orang sakit.”
Indra pun tertawa. Kehadiran Febiola seperti meredakan rasa sakitnya.
***
Di sore yang sama, Anisa termenung di tempat kerjanya yang tengah sepi pembeli. Tiga orang kawan kerjanya sedang bercakap-cakap di pojokan dealer, sementara Anisa duduk termenung sendirian.
Sudah empat hari ini Indra tidak menjemputnya. Sudah empat malam ini Anisa pulang sendirian. Setelah tahu Indra benar-benar sakit dan tak bisa menjemputnya, Anisa memesan becak yang biasa mangkal di depan dealernya agar setiap malam datang untuk mengantarnya pulang. Itu tidak menjadi masalah bagi Anisa. Dulu pun ia sering pulang sendirian saat Ferry berhalangan menjemputnya. Tetapi selama empat malam ini, Anisa seperti merasa kehilangan setiap kali keluar dari dealernya yang telah tutup dan tak mendapati Indra yang tengah menunggunya.
Kini Anisa terbayang pada lelaki itu. Jadi selama tiga bulan ini lelaki yang bersamanya bukanlah Ferry, melainkan Indra. Pernahkah aku menyadari hal itu sebelumnya meski hanya sedetik? Dua lelaki itu begitu mirip dan identik. Bahkan Anisa yang menjadi kekasih dari salah satunya pun tak mampu membedakan mereka. Dua-duanya sama-sama tampan dengan sorot mata lembut yang biasa menggetarkannya. Sikap mereka juga sama terhadap dirinya. Sama-sama penuh perhatian.
Anisa tak bisa melupakan saat beberapa malam yang lalu, ketika hujan turun dengan lebat dan ia tengah kebingungan untuk pulang karena rasa pusing di kepalanya tiba-tiba menyerang, Indra datang tanpa disangka-sangkanya. Dia datang dengan tubuh basah kuyup, dengan wajah yang begitu jelas prihatin dan khawatir dengan keadaannya. Kemudian lelaki itu menuntunnya duduk, lalu pergi entah kemana untuk mencarikan minuman untuknya...
Apakah aku telah menyadari bahwa lelaki yang datang malam itu adalah Indra? Meski telah diberitahu bahwa Ferry telah meninggal dalam kecelakaan itu, tetapi sampai detik itu pun Anisa tidak juga menyadari bahwa sosok yang berada bersamanya itu adalah Indra.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 80)