
Andini, ibu Febiola, selalu menyambut kedatangan Indra dengan penuh keramahan. Indra juga telah bertemu dengan Surya Hadi, ayah Febiola, dan mereka pernah berbincang sebentar, bahkan ayah Febiola sempat menanyakan kabar ayah Indra. Mereka bergerak dalam bidang usaha yang sama, dan mereka saling mengenal.
Meskipun bersedia memberikan waktunya untuk Febiola, namun Indra juga tak pernah melupakan kewajibannya terhadap Anisa. Dia merasa trauma dengan kelalaiannya dulu yang sampai menyebabkan Anisa demam karena kehujanan.
Ketika flu yang dirasakannya semakin berat, sementara hujan terus mengguyur Semarang setiap malam, pertahanan tubuh Indra pun akhirnya jebol. Dia jatuh sakit dan terkapar di kamarnya. Pada awalnya Indra tetap tak mau menghiraukan sakitnya dan bersikeras untuk menjemput Anisa pulang dari tempat kerjanya. Tapi ketika suatu malam Silvia mendapatinya terduduk lemas di kursi teras sebelum berangkat, ibunya pun sadar kalau Indra telah sangat lemah.
“Kau sudah sakit, Ndra,” kata Silvia. “Kau harus istirahat.”
“Saya harus menjemput Anisa, Ma.” Indra bersikeras.
“Tapi tubuhmu sudah lemah sekali.” Silvia tampak khawatir. “Kau bisa pingsan di jalan kalau tetap berangkat.”
Indra sempat memikirkan hal itu. Apa jadinya kalau ia malah pingsan di jalan?
“Sudah,” kata Silvia kemudian, “kau istirahat saja, biar Mama menelepon Anisa untuk mengabarkan kalau kau sakit, dan tidak bisa menjemputnya.”
Indra tampak khawatir. “Mama yakin dia tidak akan marah?”
Silvia menatap putranya dengan heran. “Mengapa Anisa harus marah? Dulu Ferry juga sering berhalangan dan tidak bisa menjemputnya, dan Anisa tidak pernah marah. Mama tahu betul wataknya. Kau tidak usah terlalu khawatir begitu.”
Silvia meraih pesawat telepon di ruang tengah. Sementara Indra duduk tak jauh dari ibunya.
Saat hubungan dengan Anisa tersambung, Silvia pun memulai kabarnya. Ia sengaja membuka loudspeaker di pesawat telepon agar Indra bisa ikut mendengar pembicaraan mereka. Dan Indra benar-benar mendengarkannya.
“Anisa,” sapa Silvia, “Ibu mau memberi tahu, malam ini Indra tidak bisa menjemputmu, karena sakit flunya semakin parah. Kau tidak apa-apa kan, pulang sendiri?”
“Iya, Bu,” jawab Anisa di loudspeaker yang terdengar oleh Indra. “Saya juga sudah bilang itu pada Indra. Dia seperti sangat menderita dengan sakitnya. Mungkin karena kehujanan beberapa malam ini, Bu.”
“Tapi kau tidak ikut-ikutan kena flu, kan?” tanya Silvia sambil tersenyum.
“Tidak, syukurlah,” jawab Anisa. “Oh ya, Indra sekarang sedang istirahat?”
Silvia menengok ke arah anaknya yang masih duduk di belakangnya sambil mendengarkan suara dari loudspeaker telepon.
“Dia lagi duduk mendengar Ibu meneleponmu,” ujar Silvia sambil tertawa kecil. “Tadi dia bersikeras ingin menjemputmu. Tapi tubuhnya tampak kelelahan sekali. Makanya sekarang dia ingin diyakinkan kalau Ibu benar-benar meneleponmu, agar kau tidak bingung kalau Indra nanti tidak datang menjemput.”
***
Ketika Indra akhirnya benar-benar terkapar sakit, orang yang pertama kali menjenguknya adalah Febiola. Pada mulanya Febiola menelepon beberapa kali dan terus mendengar suara Indra yang sengau karena pilek, sampai kemudian Indra menyatakan kalau dirinya sedang sakit. Suatu sore, Febiola datang ke rumah Indra dengan sekeranjang buah-buahan.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 79)