
Tidak seperti di waktu lalu, Anisa segera mengangkat wajahnya dan memandang Indra, lalu berkata dengan nada penuh kemarahan, “Bagaimana aku tidak marah kepadamu?! Kau telah mempermainkan aku, membohongi aku dan membiarkan aku tertipu selama ini!”
Indra seperti ingin mengatakan sesuatu, namun Anisa telah menyambung, “Kau menutupi kematian Ferry dariku, dan kau mempermainkan aku selama ini! Kau tahu keberadaan Ferry sangat berarti bagiku! Tapi kau hanya menganggapnya sebagai permainan, dan kau membohongiku habis-habisan! Kau pikir itu permainan apa...???”
“Maafkan aku, Nis...” bisik Indra tertahan.
“Kau tidak tahu bagaimana hancurnya aku saat menyadari Ferry sudah tak ada lagi. Dan aku baru mengetahuinya tiga bulan setelah kematiannya! Ya Tuhan! Kau sangat keterlaluan! Dia kekasihku, tapi aku sama sekali tak menyadari kematiannya, dan sama sekali tak menyadari telah lama kehilangan dia...!” Suara Anisa terdengar semakin parau, dan kemudian air matanya runtuh. Kini dia duduk dengan tubuh terguncang menahan isak tangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Indra duduk terpaku tanpa bisa berkata apa-apa. Dipandanginya sosok di hadapannya yang tampak sangat terguncang, dan sekali lagi merasakan rasa bersalah menggunung dalam dadanya.
“Nis...”
Anisa mengangkat wajahnya yang berurai air mata, lalu dengan suara parau bercampur tangis ia bertanya, “Mengapa kau tidak mengatakannya padaku sejak dulu? Mengapa kau tidak memberitahu aku kalau yang meninggal itu Ferry dan bukannya kau...? Mengapa...???” Dan tangisnya pecah lagi.
“Maafkan aku, Nis...”
“Kau keterlaluan!” Anisa berkata sambil menahan air matanya. “Kau menganggap kematian Ferry hanya bagian dari permainanmu, dan kauanggap itu sama sekali tidak penting bagiku! Kau...”
“Aku...aku tak menganggapnya begitu, Nis...” Indra mengatakannya dengan lemah.
“Kau menganggapnya begitu!” Anisa menangis tersedu-sedu dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya.
Indra menahan ingus dalam hidungnya dan menyabarkan hatinya. Perempuan di depannya ini tengah hancur, dan Indra memahami hal itu. Indra tahu bahwa akan tiba saatnya ketika ia harus menerima kemarahan Anisa seperti ini. Kalau selama ini Anisa hanya diam, Indra sama sekali tak pernah percaya kalau ia akan terbebas dari kemarahan seperti ini. Anisa jelas sangat marah kepadanya. Mungkin juga membencinya. Dan jika memang itu yang dirasakan Anisa, Indra berpikir bahwa sebaiknya memang semua kemarahan itu dikeluarkan seperti ini agar kebencian yang menggumpal dalam dirinya mencair meski perlahan. Maka Indra pun menyediakan dirinya untuk menerima segala kemarahan itu. Ia tahu bahwa ini akan berlalu. Bila semua gumpalan kemarahan itu telah keluar, Indra yakin akan bisa mendapati Anisa yang seperti dulu.
Anisa masih terguncang-guncang di kursinya, menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Indra hanya diam, membiarkan Anisa meredakan tangisnya. Sambil duduk termenung, Indra berpikir, pernahkah dulu dia dan Ferry membayangkan akan menemui kenyataan seperti ini? Ketika merancang permainan tukar tempat itu bersama Ferry, pernahkah dulu dia membayangkan akan menghadapi saat-saat yang menggetirkan seperti ini? Menatap sedih seorang perempuan yang kehilangan kekasihnya, dan rasa kehilangan itu baru disadarinya setelah waktu berjalan tiga bulan...?
Indra merasakan ingus dalam hidungnya semakin mendesak keluar. Ia pun bangkit dari kursinya, kemudian mengeluarkan ingus dari hidungnya di halaman rumah. Rasa pusing yang sejak tadi pagi dirasakannya kini semakin terasa memberati kepalanya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 74)