Hati yang MemilihIndra pun kemudian membuka bungkusan plastik itu dan meminum teh hangat di dalamnya dengan sedotan. Tubuhnya yang terasa dingin sedikit terhangatkan dengan minuman itu.

Anisa melihat jam di tangannya. Indra juga ikut melihat jam di tangannya sendiri. Sudah jam sepuluh. Tapi hujan belum berhenti.

“Nis, aku tidak bawa jas hujan,” kata Indra. “Kau mau menunggu sampai hujan reda?”

Anisa mengangguk.

Di bawah hujan yang deras dan langit yang gelap, Indra menyaksikan malam yang penuh cahaya dan bintang-bintang yang menari. Dia tersenyum dalam hati. Tawarannya untuk mengantarkan Anisa pulang tidak ditolak.

***

Semalam mereka pulang ketika jarum jam hampir mencapai pukul sebelas. Hujan yang turun sangat lebat itu butuh waktu lama untuk reda, hingga mereka dapat pulang tanpa kehujanan. Saat sampai di rumah, kedua orang tua Anisa segera membukakan pintu dan menyongsong kedatangan Anisa dengan wajah yang tampak cemas. Ketika melihat Indra bersama Anisa, mereka pun terlihat sedikit lega.

“Untung saja ada Nak Indra,” kata ibu Anisa malam tadi.

Indra menjawab dengan sopan, “Kebetulan saya pas lewat di sana, Bu.”

Sementara Anisa hanya diam dan langsung masuk ke dalam rumah.

Melihat pakaian Indra yang basah, ayah Anisa meminta agar Indra masuk dulu, tapi Indra memutuskan untuk langsung pulang.

Saat mengantarkan Anisa pulang malam tadi, Indra mencoba bertanya apakah besok Anisa ada acara ke kampus, namun Anisa mengatakan sekarang semua urusannya dengan akademik sudah selesai, dan dia tidak ada keperluan ke kampus.

Maka pagi ini pun Indra tidak mencoba menjemputnya, meski ia ingin sekali melakukannya. Setelah kejadian semalam, Indra merasa sedikit lega karena akhirnya Anisa mau berbicara dengannya meski masih sangat kaku. Indra menyadari Anisa tak bisa secepatnya melupakan Ferry, juga tak bisa secepatnya memaafkan dirinya. Indra pun telah menyadari bahwa kesalahan yang telah diperbuatnya kepada Anisa merupakan kesalahan besar, meski ia juga tahu kesalahan itu bukanlah kesalahannya semata-mata.

Pagi menjelang siang, Indra bertandang ke pabrik ayahnya dan membantu-bantu di sana. Sepanjang berada di pabrik hingga siang hari, Indra mulai merasakan tubuhnya terserang flu. Kepalanya terasa berat. Beberapa kali dia juga harus membuang ingus dari hidungnya. Mungkin ini karena hujan semalam, pikirnya.

Menjelang pukul dua, Indra memutuskan untuk datang ke rumah Anisa, untuk mengantarkannya ke tempat kerja.

Waktu sampai di rumah Anisa, rumah itu tampak sepi. Indra mengetuk pintunya, dan tak lama kemudian Anisa membukakan pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Ia mungkin sedang bersiap-siap untuk berangkat ke tempat kerjanya.

“Kok sepi sekali?” tanya Indra.

“Ibu lagi kondangan,” jawab Anisa tanpa ekspresi.

Indra masih berdiri, dan bertanya, “Mau berangkat sekarang?”

“Sebentar lagi,” jawab Anisa, masih tanpa ekspresi. Lalu, saat melihat Indra yang masih berdiri dengan wajah bingung, Anisa pun berkata, “Silakan duduk.”

Indra pun duduk seperti robot.

Anisa juga duduk di salah satu kursi di hadapan Indra.

Dan mereka saling diam. 

Indra menatap Anisa yang menunduk tak menghiraukannya. Ini adalah saat-saat yang kaku sekaligus janggal. Tadi malam Indra berpikir Anisa sudah mau berubah sikap dalam menghadapinya. Dan Anisa memang telah berubah sikap. Setidaknya ia sekarang tidak sesinis dan semarah sebelumnya. Meskipun tidak mau banyak bicara dengannya, Indra tahu Anisa telah mampu meredakan kesedihannya, sekaligus juga meredakan kemarahan atau bahkan mungkin kebencian terhadapnya.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 73)