Hati yang MemilihAnisa seperti tak mendengar ucapan Indra. Dia masih memegangi kepalanya yang sakit. Indra segera memegang kedua bahu Anisa, kemudian menuntunnya untuk duduk di pinggir pintu besi dealernya, tak peduli meski tempat itu agak basah. Lebih baik daripada dia terus berdiri, pikirnya.

Setelah Anisa duduk dengan punggung menyandar pada pintu besi di belakangnya, Indra kemudian berkata, “Nis, motorku ada di sana. Kau tunggu di sini sebentar, aku akan mengambil motor biar kau bisa duduk lebih enak.”

Anisa tak menjawab. Ia masih sibuk dengan rasa sakitnya. Indra pun segera berlari kembali menerobos hujan, menuju ke tempat motornya diparkir. Kemudian dibawanya motor yang telah basah kuyup itu ke tempat Anisa berada. Dinaikkannya motornya ke trotoar, lalu didekatkannya pada Anisa. Jok motor itu tampak basah kuyup oleh air hujan, dan Indra lalu mengambil lap yang ada di bawah jok. Setelah agak kering, ia berkata pada Anisa, “Kau bisa duduk di sini.”

Anisa mencoba berdiri, tapi terlihat sangat kepayahan. Indra segera membantunya, kemudian mendudukkan Anisa di atas jok motornya yang ia parkir menempel ke pintu besi, membiarkan Anisa duduk menyandar di sana.

“Masih pusing?” tanya Indra, berdiri di hadapan Anisa.

Anisa hanya menganggukkan kepala. Indra merasa khawatir. Sejenak diperhatikannya keadaan Anisa, kemudian Indra seperti teringat sesuatu. Segera saja dia melihat ke sekelilingnya, mencari-cari warung makan yang masih buka.

Beberapa meter dari tempatnya, Indra melihat sebuah warung makan di pinggir jalan yang tampak masih melayani pembeli. Indra segera berkata pada Anisa, “Kau tunggu di sini sebentar ya, aku akan carikan minum untukmu.”

Kemudian Indra menerobos hujan menuju warung itu. Ia seperti tak mempedulikan tubuhnya yang basah kuyup. Ia juga tak mempedulikan suara guntur yang masih menggelegar. Yang saat ini ada dalam pikirannya hanyalah Anisa.

Di warung makan itu, Indra buru-buru memesan dua plastik teh hangat, serta mengambil beberapa tahu dan tempe goreng yang kebetulan masih panas. Lalu dengan buru-buru ia kembali ke tempat Anisa dengan membawa bungkusan yang baru saja didapatkannya. Indra segera membuka bungkusan teh hangat dan memasukkan sedotan ke dalamnya, kemudian menyodorkannya pada Anisa.

“Minumlah ini, biar tidak terlalu kedinginan,” katanya.

Anisa menerima bungkusan teh hangat itu, namun tangannya tampak sangat lemah. Indra membantu memeganginya, dan Anisa mulai meminum teh hangat itu dengan sedotan.

Setelah Anisa melepaskan sedotan dari mulutnya, Indra menyodorkan beberapa gorengan tahu tempe dalam plastik, dan Anisa mengambilnya. Indra menatap Anisa yang mengunyah gorengan itu dan merasakan hatinya yang khawatir dengan keadaan gadis itu. Setelah Anisa selesai mengunyah, Indra kembali mendekatkan sedotan minuman pada Anisa, namun kali ini Anisa memegangi plastik minumannya sendiri. Indra merasa lega ketika akhirnya mendapati wajah Anisa tak sepucat tadi. Indra kembali menyodorkan bungkusan gorengan, tapi kali ini Anisa menggeleng.

“Sudah agak baikan?” tanya Indra dengan prihatin.

Anisa menganggukkan kepalanya.

“Mungkin kau kena anemia, Nis,” kata Indra. “Pernah periksa tensi darahmu?”

Anisa menatap Indra yang berdiri di hadapannya dengan tubuh basah kuyup, dan sekarang dia seperti baru sadar kalau sedang ‘bermusuhan’ dengan lelaki ini. Tetapi keadaan sekarang telah menyudutkannya. Anisa tidak mungkin meneruskan ‘permusuhannya’ dengan Indra setelah semua ini terjadi, meski semua itu terjadi di luar kesadarannya.

Anisa kemudian hanya berkata, “Kau basah sekali.”

“Tidak apa-apa,” jawab Indra.

Kemudian mereka terdiam. Hujan masih turun dengan lebat.

“Kau sudah tidak pusing lagi?” tanya Indra kemudian.

“Agak berkurang.” Anisa lalu menatap Indra dengan bingung. “Kenapa kau bisa ada di sini?”

“Aku...kebetulan lewat,” jawab Indra dengan serba salah.

Lalu diam lagi. Indra memperhatikan minuman Anisa yang telah habis, dan menawarkan teh hangat dalam plastik satunya.

Anisa menggeleng. “Buat kau saja. Kau juga pasti kedinginan.”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 72)