Hati yang MemilihSambil berteduh di emperan toko yang telah tutup, Indra terus memperhatikan ke arah tempat kerja Anisa. Akhirnya dealer itu pun tutup, dan para karyawan tampak keluar untuk pulang. Beberapa orang telah dijemput, dan mereka segera melaju menembus hujan dengan berlindung jas hujan, sedang yang lain nekat menerobos hujan karena mungkin sudah ingin segera sampai di rumah. Indra tahu Anisa pasti akan menunggu becak yang datang, karena tidak ada yang menjemputnya. Dan Indra pun tahu becak-becak seringkali tak muncul saat hujan turun.

Indra masih berdiri di tempatnya berteduh. Memandang ke arah Anisa yang kini sendirian di depan dealernya yang telah tutup. Indra melihat Anisa tampak gelisah. Beberapa kali Anisa terlihat melangkah ke ujung trotoar, mencari-cari becak yang mungkin akan lewat, namun Indra pun tahu becak yang ditunggu-tunggu Anisa tak juga muncul.

Sekarang Indra diliputi keraguan dan kebimbangan. Apakah sekarang ia akan menggunakan kesempatan ini? Apakah ia akan menggunakan saat yang tepat seperti ini untuk kembali menjumpai Anisa? Indra merasa ragu. Dan bimbang. Sekali lagi ditatapnya Anisa yang berjarak cukup jauh dari tempatnya berteduh, dan sekali lagi Indra merasa bimbang.

Anisa kini melihat jam tangannya. Kemudian Indra menyaksikan Anisa mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu pada keypad ponselnya. Dia mungkin sedang kirim SMS pada seorang temannya, pikir Indra. Mungkin Anisa meminta tolong seseorang untuk menjemputnya.

Indra kembali dilanda keraguan. Akankah sekarang ia mendatanginya? Indra menyadari jika ia terlambat datang ke sana, maka seseorang yang tengah dihubungi Anisa melalui SMS itu bisa saja datang dan dia akan kehilangan kesempatan emasnya. Tetapi kedua kakinya seperti terpaku di lantai trotoar dan tak mampu digerakkannya. Apa yang tengah terjadi dengan diriku, batin Indra dengan galau.

Hujan turun semakin lebat. Suara guntur memecah langit, dan kilat menerangi kegelapan malam. Hujan turun begitu lebat seperti dicurahkan dari langit, kemudian halilintar menggemuruh dan suara guntur bersahutan.

Indra masih berdiri dengan bimbang.

Sementara cukup jauh dari tempatnya, Anisa berdiri menyandar pada pintu besi dealernya sambil memegangi kepalanya. Anisa terlihat seperti sedang kesakitan.

Halilintar menggelegar, dan kilat menyambar kegelapan malam.

Akhirnya, dengan nekat Indra kemudian menerobos hujan, berlari melintasi jalanan yang sepi, dan mendekati tempat Anisa berdiri. Tubuhnya basah kuyup, dan Indra merasakan dingin air hujan menelusup ke setiap pori-pori tubuhnya.

Anisa masih berdiri dengan menyandar pada pintu besi dealernya sambil memegangi kepalanya. Indra melihatnya memejamkan mata, seperti tengah menahan sakit.

“Anisa...” sapa Indra dengan agak keras, mengimbangi suara hujan yang lebat.

Anisa membuka matanya, kemudian menatap Indra yang berdiri di hadapannya dengan tubuh yang basah kuyup. Dia tetap masih memegangi kepalanya.

“Kau...tidak apa-apa?” tanya Indra dengan hati-hati.

Mungkin karena rasa sakit yang tengah dideritanya, Anisa tak lagi ingat kalau saat ini tengah ‘bermusuhan’ dengan Indra. Dia menjawab dengan lemah, “Kepalaku sakit sekali...”

Indra tidak dapat mendengar dengan jelas karena suara Anisa yang lirih tertelan gemuruh hujan. Maka Indra mendekatkan dirinya pada Anisa.

“Kepalamu sakit?” tanyanya kembali.

“Pusing sekali,” jawab Anisa, masih dengan suara yang lemah.

Sekarang Indra juga melihat wajah Anisa yang pucat. Gawat, pikirnya, semoga saja Anisa tidak pingsan. Indra melihat ke sekitarnya, mencari sesuatu yang mungkin dapat digunakan Anisa untuk duduk, namun tidak ada barang yang dicarinya. Indra lalu berkata kepadanya, “Nis, sebaiknya kau duduk, biar tubuhmu tidak terlalu berat.”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 71)