
“Tidak usah,” jawab Anisa, masih dingin.
Indra terpaku. Juga jadi grogi dan salah-tingkah.
Untungnya, ibu Anisa kemudian muncul dari dalam, membawakan minum untuk Indra. Keadaan kaku yang terjadi antara Indra dan Anisa pun sedikit tercairkan. Setelah Indra mengucapkan terima kasih atas minuman itu, ibu Anisa masuk kembali ke ruang dalam. Kini Indra duduk berhadapan dengan Anisa, dan mereka saling diam. Dan kaku. Semua keakraban dan kedekatan yang pernah mereka jalin sebelum ini seperti meleleh dan hancur. Tak ada lagi keakraban seperti semula. Tak ada lagi kedekatan seperti dulu. Mereka berdua jadi seperti dua orang yang tak saling kenal. Dan Indra merasa hampa.
“Kau masih marah padaku?” tanya Indra kemudian.
Anisa tidak menjawab. Ia hanya berkata dingin dan acuh tak acuh, “Diminum dulu itu tehnya.”
Indra pun meminum teh hangat yang telah disuguhkan untuknya. Kemudian sekali lagi bertanya, “Kau masih marah padaku?”
Sekali lagi Anisa tak menjawab. Ia hanya menengok jam di dinding, kemudian berkata seperti pada dirinya sendiri, “Aku harus segera ke kampus.”
Indra pun hanya bisa mendesah tertahan, “Oh, baiklah.”
Maka dua orang yang tak saling kenal itu pun kemudian berjalan mendekati sepeda motor yang terparkir di halaman rumah. Indra menghidupkan motornya, lalu tanpa berkata apa-apa Anisa duduk di belakangnya. Kemudian bisu.
Sepanjang perjalanan menuju kampus, Indra sudah berkali-kali mencoba mengajak Anisa berbicara, tetapi sosok yang duduk di belakangnya hanya diam dan sama sekali tak menanggapi. Indra pun akhirnya menyerah.
Ketika sampai di kampus, sekali lagi Indra mencoba. “Kau tidak lama? Aku bisa menunggu di kantin?”
Tetapi Anisa tak menjawab.
Indra tahu Anisa tidak memiliki jadwal kuliah dan hanya akan berurusan dengan akademik. Karenanya ia pun memutuskan untuk menunggu di kantin seperti biasa.
Satu jam berlalu dan Indra masih menunggu. Dua jam kembali berlalu dan Indra tetap menunggu. Tiga jam. Indra mulai gelisah. Lalu empat jam. Tak biasanya Anisa terlalu lama seperti ini. Indra semakin gelisah. Ia melihat jam di tangannya. Sudah pukul dua siang. Ini waktu Anisa berangkat ke tempat kerjanya. Tapi sampai sekarang perempuan itu belum juga muncul di kantin.
Indra pergi ke ruang akademik dan mencari Anisa. Ruang akademik yang cukup luas itu tak terlalu ramai, dan Indra tak mendapati Anisa di sana. Saat tengah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, Neni muncul dari salah satu ruang dan menegurnya.
“Cari siapa, Fer?”
“Anisa,” jawab Indra.
“Sudah pulang dari tadi,” kata Neni.
“Oh ya?” Indra jadi bingung.
“Tadi dia cuma mengurus nilai ujiannya yang belum keluar, dan langsung pulang setelah itu.” Neni menjelaskan. “Memangnya dia tidak tahu kau akan menjemputnya?”
“Aku...aku menunggunya di kantin.”
“Apa dia masih di sini ya?” Neni jadi seperti bimbang. “Tapi tadi sepertinya sudah bersiap untuk pulang.”
Indra pun segera mengucapkan terima kasih, buru-buru keluar dari ruang akademik, lalu menuju ke tempat parkir motornya. Dia segera melaju ke rumah Anisa. Kalau memang Anisa sudah pulang, Indra ingin memastikan Anisa telah pulang sampai di rumahnya.
Di rumah Anisa, Wahyuni yang menyambutnya. Mengira Indra datang untuk menjemput putrinya ke tempat kerja, Wahyuni pun segera mengatakan, “Anisa-nya sudah berangkat tadi, Nak Indra.”
Indra menghela napas.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 69)