Hati yang MemilihMaka mengalirlah cerita itu. Cerita tentang permainan yang telah dilakukan kedua saudara kembar itu, hingga kejadian tewasnya Ferry dalam kecelakaan. Silvia yang pada mulanya cukup tegar saat menceritakan semua itu, kembali tak bisa menguasai perasaannya sendiri. Air matanya kembali mengalir saat menceritakan Ferry yang tewas dalam kecelakaan, sebelum dia dan Indra mengakhiri permainan mereka.

Maka kedukaan kedua pun dimulai setelah air mata mengering sejak tumpah tiga bulan yang lalu. Wahyuni, ibu Anisa, tak kuasa menahan tangisnya. Maka kedua orang tua itu pun saling bertangisan, kembali menangisi seseorang yang pernah begitu mereka kenal, menangisi Ferry.

Di dalam kamarnya, Anisa berbaring sendirian dengan tubuh terguncang menahan isak tangis, sambil mendekap bingkai foto Ferry dalam pelukannya. Air matanya membasahi.

***

Selama beberapa hari sejak itu, Indra tak menemui Anisa. Ibunya telah menasihati, “Saat ini Anisa sedang dalam keadaan kalut, dan masih sangat sedih karena baru menyadari telah kehilangan Ferry. Jadi, untuk sementara waktu, biarkan dia sendiri dulu. Anisa mungkin tidak membencimu seperti yang kau kira, tapi kau sangat mirip dengan Ferry, dan itu pasti akan membuatnya kembali teringat...”

Indra memahami maksud ibunya. Maka dia pun tak lagi datang ke rumah Anisa pagi hari untuk menjemputnya ke kampus seperti biasa. Juga tidak mengantarkannya ke tempat kerjanya pada siang hari. Namun, Indra akan diam-diam datang ke tempat kerja Anisa malam hari saat menjelang jam kepulangannya. Ia memarkir sepeda motornya agak jauh dari tempat kerja Anisa, kemudian menunggu sampai melihat Anisa keluar dari dealernya yang telah tutup. Indra akan memperhatikan Anisa yang berdiri di depan dealernya, menghentikan becak, kemudian pulang. Dan Indra akan diam-diam mengikutinya, tanpa sepengetahuan Anisa, terus mengikutinya hingga Anisa telah sampai kembali di rumahnya. Dan setelah melihat Anisa masuk ke dalam rumahnya, Indra pun kembali pergi secara diam-diam.

Setiap malam jadwal itu terus dilakukannya, dan Anisa tak pernah menyadari kehadirannya. Silvia yang justru heran dengan aktivitas putranya tiap malam itu.

“Ndra, kau sudah mulai menjemput Anisa lagi?” tanya Silvia suatu malam.

“Belum, Ma,” jawab Indra jujur.

“Tapi setiap malam kau keluar pakai motor? Kemana?”

“Saya... saya ke tempat Anisa kerja.”

“Lho, katanya belum jemput dia?”

“Iya, saya memang tidak jemput Anisa, tapi... saya agak mengkhawatirkannya. Jadi saya tetap kesana untuk memastikan dia dapat tumpangan untuk pulang.”

Ibunya hanya tersenyum.

***

Setelah merasa cukup memberi waktu untuk Anisa sendirian tanpa diganggu oleh kehadiran dirinya, Indra merasa sudah tak sabar lagi. Pagi itu pun Indra telah nekat. Dia datang ke rumah Anisa untuk menjemput gadis itu berangkat ke kampusnya.

Orang tua Anisa, yang telah tahu bahwa sosok yang sekarang datang ini bukanlah Ferry melainkan Indra, tak berubah dalam sikapnya. Mereka menyambut kedatangan Indra dengan baik dan ramah. Mereka juga menyadari bahwa itu bukan kesalahan Indra semata-mata, dan lebih dari itu mereka memahami bahwa keluarga Indra juga merasa kehilangan atas kepergian Ferry.

“Anisa sudah berangkat, Bu?” sapa Indra dengan sopan pada ibu Anisa yang tengah duduk dengan anaknya yang terkecil di teras rumah.

“Belum,” jawab ibu Anisa. “Mungkin sebentar lagi. Masuk saja.”

Indra pun masuk dan duduk di ruang tamu. Wahyuni, ibu Anisa, masuk ke dalam dan memberitahukan kedatangan Indra, dan tak lama kemudian Anisa pun muncul. Ia telah berpakaian rapi.

“Ada apa?” tanya Anisa dengan dingin.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 68)