Hati yang MemilihLalu ayahnya menyambung, “Pokoknya, Ndra, apapun yang kelak terjadi pada diri Anisa setelah kau menyampaikan kebenaran ini, kau tetap harus menghadapinya, karena kau dan Ferry yang melakukan permainan ini. Ferry sekarang tak ada lagi. Jadi kau yang harus menghadapinya, apapun yang terjadi...”

Indra kembali menganggukkan kepalanya. Ia pun kemudian berjanji akan segera mengatakan semua ini pada Anisa. Namun di dalam hatinya sendiri Indra bertanya-tanya, mampukah ia melakukannya...?

***

Tetapi, ternyata, Indra tidak membutuhkan waktu lebih lama seperti yang ia perkirakan sebelumnya. Ketika niat itu telah membulat, Indra pun akhirnya menemukan waktu yang dirasanya cukup tepat untuk mengatakan hal itu.

Pagi itu Indra mengantarkan Anisa ke kampus untuk mengurus beberapa hal di kantor akademik, dan Indra menunggunya di kantin. Waktu itu kampus tak seramai biasanya karena aktivitas kuliah sedang libur seusai ujian, dan kebanyakan yang masuk kampus hanya para aktivis mahasiswa yang sedang mengurusi berbagai acara serta program-program kerja mereka.

Kantin juga tampak sepi, dan Indra menikmati kesendiriannya di kantin itu. Beberapa kali ia saling sapa dengan kawan-kawan Ferry. Sambil menunggu Anisa, Indra membayangkan bahwa mungkin seperti inilah dulu perasaan Ferry saat menunggu kekasihnya. Menunggu dengan senang, tanpa rasa jemu, meski waktu seperti berjalan merangkak dan begitu lambat.

Sekitar tiga puluh menit Indra menunggu di kantin itu, menghabiskan beberapa lumpia dan teh hangat yang manis, kemudian Anisa muncul.

“Sori, pasti lama sekali ya nunggunya,” kata Anisa. “Tadi Bu Ida-nya lagi keluar, jadi aku harus menunggu dulu.”

“Tidak apa-apa,” jawab Indra. “Kau ingin pesan sesuatu?”

Anisa pun menemui pelayan di kantin dan memesan teh hangat seperti Indra. Lalu mereka berbincang sambil menikmati lumpia. Di situlah kemudian Indra merasa bahwa inilah waktu yang tepat untuk mengatakan kebenaran yang telah dipendamnya selama ini kepada Anisa. Indra memperhatikan Anisa tampak lebih segar dari hari-hari biasa, juga tampak lebih sehat. Inilah waktunya. Inilah waktu untuk menyampaikan kebenaran itu...

Setelah melihat Anisa meneguk teh hangat dalam gelasnya, Indra pun memulai.

“Nis,” kata Indra perlahan, “kau pernah membayangkan kalau aku bukanlah Ferry?”

Anisa tersenyum dan menatap wajah di sebelahnya. “Jangan bercanda! Kau Ferry, dan aku tak pernah membayangkan hal-hal seperti itu.”

“Bagaimana kalau aku benar-benar bukan Ferry?” tanya Indra serius.

“Fer, ada apa denganmu?” Anisa masih mencoba tersenyum. “Kau jelas Ferry. Memangnya kau menyangka dirimu siapa?”

Indra merasa kesulitan setengah mati untuk mengatakannya. Sekali lagi dia merasakan bibirnya terkatup dan lidahnya membeku. Bukan pertama kalinya dia merasakan hal itu setiap kali ingin mengatakan kebenaran ini. Tetapi Indra telah bertekad bahwa inilah waktunya. Inilah waktu untuk menyampaikan kebenaran itu.

Indra menatap Anisa, kemudian berkata dengan sungguh-sungguh, “Maafkan aku, Nis. Aku... sebenarnya aku bukan Ferry. Aku... Indra.”

“Kau... apa?” Anisa menatap wajah Indra dengan sejuta tanda tanya berseliweran di depan matanya.

Indra mengatakannya kembali dengan perlahan, “Aku bukan Ferry seperti yang selama ini kau kira, Nis. Aku Indra...”

Indra menguatkan hatinya. Ia menceritakan semua yang telah dilakukannya bersama Ferry. Sejak kepulangan dirinya ke Semarang. Tentang rencana yang muncul secara spontan. Lalu permainan tukar tempat yang mereka lakukan. Kemudian Ferry berangkat ke Jakarta, dan Indra menggantikan posisinya di Semarang. Kemudian berita kematian itu. Kecelakaan itu. Kebingungan yang dirasakannya. Kekalutannya selama ini. Hingga sekarang...

“Maafkan aku, Nis...” kata Indra lirih setelah menceritakan segalanya dan menyampaikan semua kebenaran itu.

Anisa tidak menjawab apa-apa. Dia juga tidak menangis.

Anisa langsung pingsan.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 65)