Hati yang MemilihKedua orang tua Indra tak terlalu mempermasalahkan keluarnya dirinya dari kampus karena pemecatan itu. Toh itu juga tak akan ada gunanya seandainya Indra tetap kuliah di kampus itu. Nama yang tercatat sebagai mahasiswa di kampus itu adalah nama Ferry. Dan sekarang Ferry tak ada lagi. Jika Indra meneruskan kuliah pun, maka seluruh catatan administrasi menyangkut aktivitas kuliah akan tetap tercatat sebagai milik Ferry. Bahkan jika kelak Indra berhasil menyelesaikan kuliah dan wisuda, maka di dalam ijazah, sertifikat dan surat-surat kelulusan akan tercantum nama Ferry. Bukan nama Indra. Jadi, tetap kuliah atau tak lagi kuliah, sama sekali tak ada bedanya.

Kedua orang tuanya bahkan lebih senang Indra tak kuliah seperti semula. Sekarang Indra lebih banyak berada di rumah, membantu ayahnya di pabrik batik dan mulai belajar mengenai produksi batik di sana. Itu lebih produktif, kata ayahnya.

Indra pun menyukai aktivitasnya yang baru itu. Ia menikmati saat berkeliling di lokasi pabrik milik ayahnya, menyaksikan orang-orang yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang sedang membatik, ada yang tengah mencuci kain, menyablon di atas meja panjang, ataupun yang sedang menggambar motif batik di atas kain putih.

Saat menyaksikan semuanya itu, Indra kadang membayangkan dirinya juga membuka sebuah pabrik batik seperti milik ayahnya. Ya, siapa tahu, pikirnya. Penghasilannya sebagai artis selama ini pastilah cukup untuk itu.

***

Malam hari itu, Indra duduk-duduk dengan kedua orang tuanya, dan mereka mulai membicarakan kembali soal pertukaran identitasnya dengan Ferry.

Ayahnya yang pertama kali membuka. “Ndra, sekarang sudah hampir tiga bulan setelah saudaramu meninggal. Dan selama tiga bulan ini, Anisa belum juga menyadari kalau Ferry sudah tak ada lagi...”

Indra hanya bisa mengangguk.

Ayahnya melanjutkan, “Sejujurnya, Ndra, kami—orang tuamu—tidak peduli kalau semua orang percaya kalau kau adalah Ferry. Tetapi Anisa tidak bisa diperlakukan seperti itu. Dia harus tahu. Dia harus tahu bahwa kau bukan Ferry. Dia harus menyadari bahwa Ferry sudah tak ada lagi...”

“Saya merasa berat sekali untuk melakukannya, Pa,” jawab Indra akhirnya.

Ayahnya menjawab, “Papa tahu itu berat. Jelas sangat berat. Tetapi semakin lama kau menahan kebenaran ini, kau akan membuat Anisa semakin merasa terluka. Bayangkan bagaimana perasaannya yang kehilangan Ferry, kemudian menyadari kalau selama ini dia telah dibohongi, dipermainkan...”

Indra mengangguk memahami.

Sementara ibunya, yang sekarang telah reda dari kesedihannya, menyambung, “Ndra, Mama sendiri juga bisa merasakan bagaimana remuknya hati Anisa jika ia mengetahui hal ini. Tetapi Mama pikir, Anisa memang sebaiknya mengetahui kebenaran ini secepatnya. Karena, seperti yang tadi papamu bilang, dia akan semakin merasa terluka jika semakin lama kau menahan untuk mengatakan yang sebenarnya.”

“Saya merasa benar-benar tak mampu...” keluh Indra.

Ayahnya menanggapi, “Tapi sampai kapan kau akan menahan kebenaran ini dari dirinya? Semakin lama kau menahannya, itu sama saja dengan memperlama siksaan yang kelak akan dirasakan oleh Anisa.”

Indra kemudian menatap kedua orang tuanya. “Menurut Papa sama Mama, apa yang harus saya lakukan untuk mengatakan semua ini kepada Anisa agar dia tidak terlalu terluka?”

Ibunya segera menanggapi, “Katakan saja secara jujur apa yang telah kaulakukan dengan Ferry menyangkut pertukaran tempat ini. Seberat apapun, Anisa tentu mengerti dan bisa memahami bahwa kalian tidak pernah merencanakan kalau akhirnya akan begini.”

Indra menganggukkan kepalanya dengan ragu-ragu.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 64)