Hati yang MemilihSemenjak keluar dari kampus dan tak lagi berkuliah, Indra mengisi harinya dengan membantu ayahnya di pabrik batik mereka. Pagi hari ia akan mengantarkan Anisa ke kampus, kemudian pulang, lalu masuk ke pabrik dan mengerjakan banyak hal dalam produksi batik yang dulu tak pernah disentuhnya. Siangnya, Indra kembali menjemput Anisa untuk mengantarkannya ke tempat kerja. Lalu malam harinya Indra sekali lagi menjemput Anisa dari tempat kerjanya, dan mengantarkannya ke rumah.

Kedekatan yang diatur oleh keadaan itu mau tak mau semakin mendekatkan Indra dengan Anisa. Bukan hanya fisiknya, tetapi juga hatinya. Indra jadi merasa dia benar-benar kekasih Anisa, dan Anisa adalah kekasihnya. Seringkali Indra merasa khawatir hanya karena Anisa tidak ditemuinya saat ia menjemputnya ke kampus. Kemudian ia akan merasa lega dan senang saat melihat Anisa datang ke tempatnya menunggu dan tersenyum dan bertanya, “Sudah lama menunggu?”

Indra selalu menyukai saat-saat kebersamaannya dengan Anisa. Kadang-kadang, tanpa disadari oleh dirinya sendiri, Indra merasakan tiba-tiba kangen pada Anisa. Saat malam datang, ketika perasaan semacam itu tiba-tiba menyergapnya, Indra segera mengeluarkan sepeda motor dan melaju ke tempat kerja Anisa. Ia sudah ingin melihat perempuan itu.

Dan Anisa pasti akan tersenyum saat melihatnya. Lalu saat pembeli tengah sepi, Anisa pun akan mendekatinya dan berbisik, “Kok awal sekali menjemputnya?”

Lalu Indra pun akan menjawab, “Aku sudah kangen ingin melihatmu...”

Makin hari Indra merasakan perasaan semacam itu semakin kuat dan kian menguat. Suatu perasaan baru yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Ada kedamaian. Ada ketulusan. Ada ketenangan. Di sisi Anisa, Indra tak lagi punya keinginan untuk menjalin hubungan lain dengan perempuan lain. Naluri petualangannya lenyap. Ia hanya ingin bersama Anisa, dan hanya Anisa. Bahkan ketika Febiola meneleponnya, Indra pun ogah-ogahan. Ketika Febiola mengajaknya kencan, Indra dengan tegas menjawab, “Aku harus menjemput pacarku.”

Selama hidupnya di Jakarta, Indra tidak pernah merasakan perasaan seperti yang sekarang dirasakannya ini. Di Jakarta, dengan popularitasnya sebagai artis, Indra dapat berkencan dengan banyak perempuan. Tapi Indra tak pernah merasakan getar perasaan seperti yang ia rasakan ketika ada di dekat Anisa. Indra tak pernah merasakan debar hati, suatu debar dari ketenangan dan kebahagiaan yang ia rasakan saat memeluk perempuan itu.

Ya, Indra telah memeluknya. Saat pertama kali melakukan itu, kejadiannya benar-benar didorong naluri. Ketika kemudian menyadari apa yang telah dilakukannya, Indra merasa telah mengkhianati Ferry. Tetapi kejadian seperti itu terulang dan terulang kembali tanpa pernah dapat dicegahnya, tanpa bisa ia hentikan. Dorongan itu datang secara tiba-tiba, muncul tanpa pernah dibayangkannya. Ketika waktu terus berjalan, Indra mulai menyadari bahwa ada sesuatu dalam dirinya, dalam hatinya, yang menggerakkan naluri spontanitas itu. Ketika naluri itu datang, tak ada kekuatan rasio dan akal sehat dan logika yang mampu mencegahnya.

Jatuh cintakah ia pada Anisa...?

Indra telah mencoba menanyakan hal itu pada dirinya sendiri selama berhari-hari, bermalam-malam, bahkan berminggu-minggu. Ia ingin tahu jawabannya.

Ia ingin tahu mengapa setiap kali bertemu Anisa ia merasa sangat bahagia. Ia ingin tahu mengapa setiap kali kehilangan perempuan itu ia merasa sangat mengkhawatirkannya. Ia ingin tahu mengapa ketika ada di dekat Anisa ia selalu merasakan ketenangan, kedamaian dan ketenteraman. Ia ingin tahu mengapa ketika ada dalam pelukan Anisa ia merasakan waktu seolah abadi dan detik jam seolah berhenti. Ia ingin tahu mengapa saat pandangan mata mereka bertatapan, ia merasa ada seribu kupu-kupu yang beterbangan dalam perutnya, mengitari hatinya... Ia ingin tahu...

Dan ketika kemudian ia tahu jawabannya, Indra pun merasa amat tersiksa.

Ia telah jatuh cinta.

Ia telah jatuh cinta pada kekasih saudara kembarnya.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 63)