
“Gawat, Fer,” kata Wawan pada Indra. “Mereka melakukan taktik devide et impera!”
Jantung Indra mencelos. Urusan apa lagi ini? Indra tidak berani menjawab apa-apa karena tidak paham sama sekali dengan apa yang dikatakan Wawan. Karenanya ia hanya menatap Wawan dengan pandangan hampa, dan berharap Wawan melanjutkan maksudnya.
“Rektorat berencana hanya memecatmu, Fer,” lanjut Wawan.
“Mengapa?” Indra bertanya spontan.
“Mengapa?!” Wawan setengah berteriak mengulangnya. “Karena majalah kita, Fer! Karena apa lagi pikirmu?”
Indra baru paham. “Oh, sori, aku lagi banyak pikiran, jadi tidak langsung paham apa maksudmu,” kata Indra kemudian.
Wawan pun tersadar. “Maaf, aku tidak ingat kau baru kehilangan saudaramu. Aku benar-benar terkejut saat tadi mendengar berita itu. Karenanya aku sudah tak sabar ingin membahasnya denganmu.”
Mereka pun kemudian melangkah menuju komplek gedung UKM dan memasuki ruang kantor UKM Pers. Anisa masih menemani Indra karena juga ingin tahu bagaimana kelanjutan masalah itu.
Di ruang UKM Pers, beberapa mahasiswa yang lain sudah berkumpul. Mereka telah siap untuk membicarakan masalah itu. Tapi Indra tidak siap. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana harus membicarakannya, dia pun tak memiliki gambaran yang jelas dan gamblang menyangkut kasus ini. Ferry terlalu yakin masalahnya tak akan berakhir segawat ini, dan Ferry pun yakin Indra tak akan diusik oleh kasus ini selama dia menggantikan posisinya. Tapi dugaan Ferry meleset. Dan sekarang dia telah meninggal. Indra jadi merasa idiot.
Indra tahu para mahasiswa yang berkumpul di kantor itu tengah menunggunya berbicara, namun Indra tak tahu bagaimana harus memulai rapat ini.
“Fer...” Wawan mengingatkan.
“Ehm,” Indra memulai dengan bingung, “aku...aku sedang bingung saat ini. Bisakah kau yang memimpin rapat ini?” Indra mengarahkan tatapannya pada Wawan.
Wawan segera mengangguk dengan ekspresi memaklumi. Mungkin Ferry masih kalut atas meninggalnya saudara kembarnya, pikirnya. Wawan pun mulai membuka rapat itu. Dan Indra menggunakan seluruh konsentrasinya agar bisa mengikuti masalahnya.
“Masalah kita dengan rektorat telah menemui jalan buntu,” kata Wawan memulai sambil mengedarkan pandangannya pada kawan-kawannya. “Berita yang kita tulis dalam majalah itu telah membuat masalah yang sangat serius, dan rektorat pun menanggapinya secara sangat serius pula. Beberapa waktu yang lalu, kami telah dipanggil menemui Purek Tiga dan membicarakan masalah ini, namun negosiasi kami tak menemukan jalan keluar. Purek Tiga meminta agar kami memuat ralat berita dalam edisi mendatang, dan kami menolak. Purek Tiga mengancam akan memecat kami dari kampus ini jika permintaan itu tak dipenuhi, dan Ferry...” Wawan mengarahkan pandangannya pada Indra, “Ferry balik mengancam kalau kami sampai dipecat dari kampus, maka berita mengenai proyek pembangunan universitas ini pun akan dikirimkan ke koran-koran dan majalah lain.”
Wawan terdiam sebentar, kemudian melanjutkan, “Tadi pagi Purek Tiga kembali memanggil Ferry, selaku Pimpinan Umum majalah ini, namun Ferry belum datang ke kampus. Aku kemudian diminta untuk mewakili, dan aku menemui Purek Tiga di kantornya. Pak Mirwan, Purek Tiga, menjelaskan kepadaku bahwa beberapa hari yang lalu pihak Rektorat telah memanggil Ferry dan mereka telah membicarakan kembali masalah itu bersama para pejabat universitas yang lainnya, namun tetap saja berakhir buntu. Pak Mirwan juga menegaskan bahwa sekarang pihak universitas telah mengambil keputusan yang pasti, bahwa mereka akan mengeluarkan SK pemecatan untuk Ferry dengan alasan telah mencemarkan nama baik universitas.” Wawan menelan ludah, memandang kawan-kawannya, lalu kembali melanjutkan, “Kita tahu pemecatan ini dilakukan untuk memecah-belah kita. Mereka sengaja hanya memecat Ferry seorang karena mungkin mereka pikir Ferry akan menimbang-nimbang lagi jika hanya dia yang dipecat sementara yang lain tidak.”
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 60)