
Hari itu pun, empat jenazah sekaligus dibawa ke pemakaman yang sama, dengan pelayat yang memadati jalanan. Ribuan orang mengikuti iring-iringan mobil jenazah, dan para keluarga yang ditinggalkan tampak masih menangis dalam mobil-mobil mereka.
Artis-artis populer yang biasa muncul di televisi tampak berjejalan di antara ribuan orang yang ikut melayat. Ratusan wartawan dan fotografer turun ke jalanan. Kamera-kamera dari media massa berseliweran merekam kejadian hari itu, dan stasiun-stasiun televisi menyiarkan berita mengharukan itu secara live.
Empat orang artis muda yang sangat populer meninggal dalam waktu bersamaan.
Dunia hiburan pun berkabung.
***
Satu minggu lebih setelah kejadian itu, suasana duka belum juga terangkat dari rumah keluarga Indra. Dan setiap kali Indra punya kesempatan berbicara dengan ibunya, selalu saja ibunya menyesali permainan tukar tempat itu. Kedukaan dan rasa kehilangan Silvia atas kematian Ferry terlihat amat besar. Itu dapat dimaklumi karena selama ini Ferrylah yang dekat dengannya karena tinggal di Semarang, sedang Indra hidup jauh di Jakarta.
Tapi terkadang Indra merasa nelangsa sendirian di dalam kamar. Ibunya seperti tak terima dengan kematian Ferry, dan seolah menyalahkan Indra atas tragedi itu. “Seharusnya kalian tidak melakukan permainan bodoh itu! Kalau saja Ferry masih di sini, dia tidak akan mengalami kecelakaan itu!” Entah sudah berapa kali Indra mendengar kata-kata itu.
Indra merasa dirinya diguncang berbagai macam persoalan. Dia merasa amat kehilangan saudara kembarnya. Ibunya seperti menyalahkan dirinya atas kejadian itu. Sementara dia sendiri juga masih tenggelam dalam kebingungan untuk menghadapi hidup setelah semuanya ini normal kembali. Akan jadi siapa dirinya? Indra merasa tidak mungkin selamanya akan tetap menjadi Ferry. Semirip apapun mereka, dan semampu apapun Indra memerankan Ferry, tapi dia bukan Ferry. Indra tak mungkin terus menempati posisi Ferry dan terus menggunakan identitas Ferry.
Indra merasa galau memikirkan hal itu. Dan di atas galanya, Indra merasa sangat tertekan setiap kali menghadapi Anisa, kekasih Ferry. Perempuan itu sama sekali tidak tahu bahwa dia telah kehilangan kekasihnya. Anisa sama sekali tak menyadari bahwa Ferry telah tewas dalam kecelakaan itu dan meninggalkan dirinya. Anisa masih yakin bahwa sosok yang sekarang ada di Semarang ini adalah Ferry, kekasihnya, dan ia masih meyakini sebagaimana orang lain meyakini, bahwa yang tewas dalam kecelakaan itu adalah Indra.
Indra merasa kalut setiap kali mencoba memikirkan cara untuk menjelaskan hal ini pada Anisa. Semua keluarganya telah sampai pada puncak kedukaan, dan Indra tahu pada akhirnya kedukaan itu akan reda dan semakin mereda. Tetapi Anisa belum mengalaminya. Anisa hanya tahu ia telah kehilangan saudara kekasihnya. Sesedih apapun, Anisa tetap akan merasakan kesedihan yang lebih besar dan lebih berat setelah kelak ia tahu bahwa yang meninggal itu adalah Ferry, kekasihnya. Dan Indra yang paling bertanggung jawab untuk menyampaikan kejujuran itu. Indra telah terlibat dari awal sejak permainan ini dilakukan, dan sekarang dia pula yang akan menanggung akibatnya.
Selama dua minggu ini, Anisa beberapa kali datang mengunjunginya, memberikan perhatiannya yang didorong oleh kesadaran bahwa kekasihnya tengah berduka. Anisa biasanya akan menemani Indra, memberikan penghiburan kepadanya, meredakan kesedihannya. Selama kedatangan Anisa, Indra akan merasa tersiksa setengah mati. Perempuan ini tidak tahu!
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 58)