Hati yang MemilihMalam harinya, setelah yakin kalau berita kecelakaan itu bukan hanya sekadar gosip, Indra dan kedua orang tuanya pun telah berada dalam perjalanan ke Jakarta.

Yang paling berat bagi Indra adalah saat menerima kedatangan Anisa. Gadis itu datang untuk menyampaikan belasungkawa. Dia sama sekali tak menyadari bahwa sosok yang telah tewas dalam kecelakaan itu adalah Ferry, kekasihnya. Untungnya, saat Anisa datang, Silvia tengah pingsan hingga Anisa tak sempat mendengarnya meratap menyebut-nyebut nama Ferry.

Ketika melihat Indra tampak sangat berduka, Anisa pun memeluknya dan menghiburnya.

Dalam pelukan Anisa saat itu, Indra dihempas perasaan galau yang luar biasa. Dia bukan hanya menghadapi kedukaan karena ditinggal mati saudara kembarnya, dia juga ditikam kenyataan yang sangat membingungkannya. Apa yang harus dikatakannya pada sosok yang tengah memeluknya ini? Dan sebelum Indra menyadari apa yang harus diperbuatnya, dia telah menangis dalam dekapan Anisa.

Mereka sampai di Jakarta menjelang subuh, dan disambut oleh Dimas yang masih berjaga di rumah Indra di Jakarta. Dimas sengaja ‘kabur’ ke rumah Indra karena rumahnya sendiri telah dipenuhi wartawan.

Muladi menuntun istrinya turun dari mobil, dan Dimas segera menyongsong mereka. Saat melihat Indra, Dimas terpaku seperti melihat hantu, tapi dia tak mengatakan apa-apa.

Saat kedua orang tuanya telah beristirahat di dalam kamar, dan sopir mereka telah tidur di kamar tamu, Indra bercakap-cakap dengan Dimas di ruang depan.

“Ceritakan padaku tentang kecelakaan itu,” pinta Indra dengan linglung.

Dimas pun menceritakannya. Secara runtut dan lengkap dengan gayanya yang efektif seperti biasa. “Sore itu sekitar pukul lima, Indra bersama teman-temannya yang lain berangkat ke Bogor dalam satu mobil untuk menghadiri acara ulang tahun Pak Hasnan Wibowo—produser Indra.”

Indra mengangguk.

Dimas melanjutkan, “Acara ulang tahun Pak Hasnan diadakan di villa pribadinya, dan acara itu selesai sekitar pukul sepuluh atau setengah sebelas malam. Para tamu kemudian pulang satu persatu, ada pula yang menginap di villa lain. Pak Hasnan juga tidak pulang malam itu. Sementara Indra bersama kawan-kawannya kemudian pindah ke villa lain milik salah satu dari mereka.”

Indra kembali mengangguk.

“Nah,” lanjut Dimas, “menjelang subuh, mereka mungkin mendapat kabar dari seseorang yang mengabarkan kalau Doni, salah satu kawan mereka yang dirawat di rumah sakit, meninggal dunia.”

Indra tersentak. “Do...Doni?” tanyanya tergagap.

Dimas menatap Indra dengan terkejut. “Kau juga mengenalnya?”

Indra menjawab dengan linglung, “Aku... aku pernah dikenalkan dengannya. Doni, yang suka dugem itu.”

Dimas tersenyum sekilas dan mengangguk. Kemudian melanjutkan, “Mereka tentu diberitahu kalau jenazah Doni akan dikebumikan pagi itu. Karena Doni sahabat dekat mereka, Indra dan kawan-kawannya pun mungkin bersikeras untuk bisa hadir dalam pemakamannya. Maka menjelang subuh itu mereka turun untuk pulang. Tidak ada yang tahu siapa yang menyetir mobil saat itu. Tapi yang jelas, pada suatu tikungan yang tajam, mobil mereka tergelincir dan sopirnya mungkin tak mampu menguasai mobil kembali, hingga kemudian terperosok dan jatuh ke sebuah jurang di sana.”

Dimas berhenti sebentar. Kemudian melanjutkan perlahan, “Mobil itu menghantam dasar jurang. Kemudian meledak. Polisi menyebutkan bensin dalam tangkinya kemungkinan telah diisi penuh, dan kebakaran langsung berkobar.”

Indra menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Malang sekali nasibmu, Fer.

“Tidak ada yang tahu kejadian itu karena masih sangat pagi. Ketika kecelakaan itu terjadi, jalanan masih amat sepi,” kata Dimas melanjutkan. “Baru keesokannya, sekitar pukul delapan pagi, seorang pejalan kaki tak sengaja melihat bangkai mobil yang masih terjilat api di dasar jurang, kemudian dia menghubungi polisi.”

Dengan masih linglung, Indra bertanya perlahan, “Siapa lagi yang ikut tewas dalam kecelakaan itu?”

“Saat dievakuasi, polisi menemukan mayat-mayat yang telah hangus. Kami kesulitan mengenali secara pasti siapa-siapa saja di antara mereka, namun dari barang-barang yang tertinggal dan tak ikut hancur, kami mulai mengenali siapa saja korban kecelakaan itu. Rafli, Daniel, Nathan, dan Indra.” Dimas menatap Indra sejenak, kemudian melanjutkan, “Orang tua Nathan juga membenarkan kalau anak mereka dijemput saudaramu dan ketiga kawannya yang lain.”

Sekali lagi Indra menutupkan kedua tangan pada wajahnya, membayangkan Ferry, dan menyayangkan kejadian tragis itu.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 57)