Hati yang MemilihIndra memperkenalkan dirinya. “Saya Ferry, pacar Anisa, salah satu karyawan yang bekerja di sini.”

“Ya?”

Indra melanjutkan, “Hari ini Anisa tidak bisa masuk, karena demam setelah semalam kehujanan.”

“Oh itu, tadi pagi dia juga sudah menelepon ke sini, dan dia sudah diijinkan untuk tidak masuk. Fisiknya memang agak lemah, anak itu.”

Indra mengangguk. “Selain itu, Om, saya dengar Anisa harus mengganti ponsel yang dijatuhkannya...”

“Oh itu, iya. Itu sudah masuk dalam perjanjian antara kami dengan para karyawan yang bekerja di sini. Kami tahu Anisa tidak sengaja menjatuhkannya. Tapi itu sudah diatur dalam perjanjian. Anisa harus menggantinya. Peraturan itu sebenarnya dibuat dengan tujuan agar para karyawan lebih hati-hati dalam memperlakukan barang-barang yang dijual di sini. Tapi tidak perlu khawatir. Anisa tidak perlu membayarnya sekaligus. Dia bisa mencicil dengan memotong uang gajinya.”

Indra pun menyampaikan maksudnya. “Begini, Om, saya kesini untuk mengganti harga ponsel yang jatuh itu.”

“Oh, begitu.”

“Berapa harga ponsel itu?” tanya Indra langsung.

“Sebentar.” Lelaki itu menarik laci mejanya, mengambil sebuah buku daftar harga, kemudian menggerakkan jarinya untuk mengurutkan harga yang tersusun rapi di sana.

“Ini dia,” katanya kemudian, “empat juta dua ratus ribu rupiah.”

Indra mengambil uang dari dalam saku celananya, menghitung sejumlah yang disebutkan, kemudian menyodorkannya kepada si pemilik dealer.

Uang itu pun berpindah tangan. Si pemilik dealer menghitungnya dengan lebih cepat. Kemudian diambilnya beberapa lembar dan diserahkannya kembali pada Indra. “Kau tidak perlu mengganti seluruh harganya. Ambillah uang kembalian ini.”

Indra menerima kembali empat lembar lima puluh ribuan yang disodorkan kepadanya, dan mengantonginya kembali. Kemudian dia menatap lelaki di hadapannya. “Jadi, gaji Anisa tidak perlu dipotong, kan?”

“Oh itu, tentu saja.”

“Dan, saya minta agar Om tidak perlu memberitahukan hal ini pada Anisa.”

“Oh itu, tak perlu khawatir.” Kemudian dia tersenyum pada Indra.

Indra bangkit, menyalami lelaki itu, kemudian berlalu. Saat Anisa mendapatkan gajinya mendatang, dia sudah tak ada lagi di Semarang, dan biarkan Ferry yang akan menjelaskannya.

***

Tetapi kenyataan yang terjadi kemudian tidak sama dengan yang dibayangkan dan diharapkan oleh Indra. Hanya berselang empat hari setelah dia keluar dari dealer ponsel itu, sesuatu yang tak pernah terbayangkan terjadi.

Sore itu, seperti biasa, ibunya menonton acara infotainment kesukaannya di televisi. Meski ia tahu anaknya yang artis ada di Semarang, Silvia tetap menonton acara itu karena sudah menjadi kebiasaan. Barangkali saja Ferry bikin ulah di Jakarta dan masuk acara itu karena disangka Indra, pikirnya. Dan sore itu berita di infotainment yang ditontonnya benar-benar memberitakan hal yang sama seperti yang dibayangkannya. Infotainment edisi itu menayangkan berita tentang Ferry yang disangka Indra, hanya saja berita kali ini lebih mengerikan dari berita-berita terdahulu yang biasa ditontonnya menyangkut Indra.

Pembawa acara infotainment itu masih menyiarkan...

“...Indra Gunawan, artis muda yang saat ini sedang menjadi idola para pecinta sinetron Indonesia, mengalami kecelakaan tragis pagi hari tadi. Mobil yang dinaikinya bersama tiga orang kawannya terguling dan masuk ke dalam jurang. Polisi yang bertugas menangani kasus ini menyatakan mobil tersebut meledak dan terbakar begitu membentur dasar jurang. Ketika dilakukan evakuasi, Indra Gunawan bersama tiga orang kawannya telah hangus saat ditemukan, dan...”

“Ya Tuhan, Feerrrryyy...!!!”

Indra yang sedang berada di dalam kamar segera saja menerobos keluar begitu mendengar ibunya menjerit histeris di ruang tengah. Dia mendapati ibunya yang tengah histeris dan menangis dengan tubuh terguncang-guncang, sementara layar televisi masih menayangkan berita tentang kematian artis ‘Indra Gunawan’.

Indra merasa darahnya membeku.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 56)