
Sambil menunggu antrian itu berkurang, Indra kembali ke dalam mobilnya. Sambil duduk di dalam mobil, Indra menghitung hari-hari yang telah dilewatinya di Semarang. Sejak pertama kali bertukar tempat dengan Ferry, tak terasa mereka telah melewati waktu dua puluh satu hari. Tinggal sembilan hari lagi.
Sembilan hari lagi permainan ini akan usai dan masing-masing akan kembali ke tempatnya semula. Dia akan kembali ke Jakarta, dan Ferry akan pulang ke Semarang. Setelah itu, mereka pun akan melanjutkan hari-harinya seperti biasa. Dia menjadi artis dengan segala aktivitasnya, dan Ferry akan kembali menjalani hidup sebagai mahasiswa dengan berbagai masalahnya. Alangkah cepat rasanya waktu berlalu.
Rasanya baru kemarin dia dan Ferry merencanakan permainan ini. Rasanya baru kemarin dia melepas kepergian Ferry ke Jakarta untuk menggantikan dirinya. Tetapi sekarang sudah dua puluh satu hari. Tiga minggu. Dan sembilan hari lagi semuanya akan selesai.
Apa yang telah didapatkannya selama ini? Dua puluh satu hari yang berlalu seperti tak memberikan apa-apa, namun Indra tahu waktu yang singkat itu telah memberikan banyak hal kepadanya. Selama tinggal di Semarang, Indra memperoleh banyak hal baru yang tak mungkin ia dapatkan seandainya dia dan Ferry tak melakukan permainan ini.
Di sini, Indra kembali memperoleh kehidupan yang dulu pernah dirasakannya. Di sini Indra mendapatkan pelajaran-pelajaran baru tentang kesederhanaan. Persahabatan. Juga tentang perjuangan yang dilakukan para aktivis mahasiswa yang idealis seperti Ferry dan kawan-kawannya, yang rela melakukan hal-hal besar bahkan berisiko tanpa tujuan materi.
Di sini Indra seperti disadarkan, bahwa di balik kehidupan gemerlap seperti yang biasa ia nikmati, ada orang-orang seusianya yang kesulitan menanggung hidup yang seharusnya belum ditanggungnya. Di sini pula Indra mendapatkan kedekatan dengan Anisa. Dan mengagumi kecantikannya yang inner. Mengagumi perjuangan hidupnya. Mengagumi kelembutan hatinya. Sekaligus tersentuh oleh kehidupannya. Sekaligus merasakan ada sesuatu yang bergetar di hatinya...
Antrian di depan boks ATM sudah hampir habis, dan Indra segera keluar dari mobilnya. Hanya butuh waktu sesaat sampai kemudian gilirannya masuk ke dalam boks ATM, lalu ia mengambil uang yang dibutuhkannya.
Dengan uang cash empat juta dalam saku celananya, Indra menuju ke dealer ponsel tempat Anisa bekerja. Hari ini Anisa tidak masuk. Tadi pagi Anisa telah menghubungi majikannya dan meminta ijin tak masuk karena sakit, dan majikannya pun telah mengijinkannya.
Indra sudah tahu pemilik dealer tempat Anisa bekerja. Seorang lelaki keturunan Tionghoa berwajah ramah, berusia sekitar lima puluhan, dan biasa duduk di belakang sebuah meja di salah satu sudut dealer. Karenanya, begitu sampai di dealer itu, Indra pun segera menuju ke tempatnya.
“Selamat siang, Om,” sapanya dengan sopan.
Lelaki pemilik dealer itu menerima Indra dengan ramah, dan mempersilakannya duduk di kursi yang ada di depannya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 55)