Hati yang MemilihDi dalam kamar itu, Indra memperhatikan keadaan sekelilingnya. Kamar itu begitu sederhana, jauh berbeda dengan kamar yang biasa ditinggalinya. Di atas meja dekat tempat tidur, Indra melihat foto Ferry yang dipasang dalam bingkai sederhana berwarna kombinasi merah-hitam. Sementara di samping foto itu ada sebuah benda hiasan mungil yang cantik terbuat dari kaca dan tampak tulisan grafir F & A. Mungkin itu hadiah Ferry saat Anisa ulang tahun, atau kado Valentine.

Lalu tatapan Indra tertuju pada sebuah bungkusan tas plastik yang ada di atas meja. Indra tahu itu tas plastik dealer ponsel tempat Anisa bekerja. Warnanya putih dan tertera logo besar dealer itu. Dan tas yang cukup besar itu tampak membungkus sebuah kardus ponsel di dalamnya.

“Kau beli ponsel baru ya?” tanya Indra spontan pada Anisa.

Di luar dugaan Indra, Anisa jadi sangat gugup dengan pertanyaan itu. Dia mencoba menjawab namun ucapannya tidak jelas, terdengar bingung dan tergagap-gagap.

Indra jadi bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Anisa? Dan mengapa bungkusan ponsel baru itu membuatnya jadi sangat gugup? Indra kemudian merasa ada sesuatu yang tak beres. Setelah yakin Anisa tidak melakukan hal yang akan memalukan jika ia tanyakan, Indra pun memberanikan diri untuk bertanya, “Apa yang terjadi, Nis?”

Anisa menjawab dengan tergagap. “Tidak...tidak apa-apa, Fer.”

“Dan bungkusan itu?” Indra mengarahkan matanya ke bungkusan ponsel di atas meja.

Sekali lagi Anisa tak bisa menjawab.

Indra mendekatkan wajahnya pada Anisa, dan berkata, “Nis, aku pacarmu, ingat? Apapun masalahmu, itu juga jadi masalahku. Katakanlah. Aku pasti akan membantu...”

Anisa jadi semakin serba salah. “Aku...aku telah banyak menyusahkanmu, Fer...”

“Aku selalu senang melakukannya untukmu.” Indra meyakinkannya. “Katakanlah. Ada masalah apa menyangkut ponsel itu?”

Anisa tetap tak bisa menjawab.

“Aku boleh melihatnya?”

Anisa pun terlihat pasrah. Indra mengambil bungkusan itu, dan dengan penasaran diambilnya kardus ponsel dari dalam tas plastiknya. Indra mendapati sebuah ponsel seri terbaru dalam kardus itu.

Ini benar-benar ponsel baru, pikirnya sambil mengamati ponsel di tangannya. Tapi...ada bagian-bagian yang tampak sedikit retak dan tergores. Ini bukan jenis ponsel murahan yang bisa digonta-ganti casingnya sesuai selera pemiliknya. Indra tahu harga ponsel ini di atas empat juta. Lalu jari-jarinya meraba retakan dan goresan yang terdapat pada ponsel itu. Dan Indra pun segera memahami apa masalah yang menimpa Anisa.

“Kau menjatuhkan ponsel ini?” tanyanya kemudian.

Anisa hanya dapat mengangguk lemah.

Sekali lagi Indra menyimpulkan masalahnya. “Dan kau diminta menggantinya?”

Anisa pun menjelaskan dengan suaranya yang lemah, “Aku sama sekali tak sengaja waktu itu, Fer. Tanganku gemetaran, lalu ponsel itu terlepas dan jatuh. Aku harus menggantinya. Tapi majikanku memberikan kelonggaran, aku dapat mencicilnya dari uang gajiku.”

Indra kembali menatap ponsel itu. Harga ponsel ini lebih dari empat juta. Berapa gaji Anisa perbulan sebagai karyawan paruh waktu? Jika ia harus mencicilnya, berapa besar yang akan digunakan untuk mencicil itu? Dan butuh berapa bulan atau bahkan berapa tahun untuk mencicilnya?

Indra mendesah tertahan. Mengapa Anisa harus menghadapi masalah seperti ini...?

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 54)