
Tapi guntur yang kemudian datang bersama kilat yang menerangi jalanan aspal di hadapannya, dan langit semakin deras mengguyurkan hujan. Anisa merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Ada apa dengan Ferry...?
Sekali lagi Anisa mencoba menghubungi ponsel Ferry dan berharap kali ini Ferry menerimanya. Didekatkannya ponsel ke telinga agar suara deras hujan tak mengganggu pendengarannya. Anisa kembali mendengar nada sambung dalam ponselnya. Dia menghitung nada sambung itu satu demi satu. Dan harapannya kian menipis seiring jumlah hitungannya yang semakin besar. Ferry tak juga menerima teleponnya. Juga tak kunjung datang.
***
Di dalam salah satu mobil yang terparkir di komplek swalayan, di depan restoran, sebuah ponsel di atas dasbor terus-menerus berdering namun suaranya teredam oleh pintu mobil yang tertutup rapat, juga oleh derasnya suara hujan. Gelegar halilintar yang datang semakin membuat dering ponsel itu tak terdengar siapapun.
***
Di salah satu sudut dalam restoran, Indra dan Febiola tengah berpandangan mesra, dipisahkan oleh meja di tengah-tengah mereka. Keduanya sama sekali tak peduli hujan di luar.
***
Indra baru menyadari kesalahannya ketika telah pulang kembali ke rumah. Larut malam itu, setelah memasukkan mobil ke dalam garasi, dia meraih ponsel di atas dasbor dan melihat tanda missed call di layar ponselnya. Indra langsung tahu kalau Anisa sudah menghubunginya berkali-kali. Anisa juga telah berkirim SMS ke ponselnya. Bagaimana dia bisa lupa??? Dan yang lebih gila lagi, bagaimana ponsel sialan ini sampai tertinggal dalam mobilnya?
Keesokan paginya, Indra segera menuju ke rumah Anisa. Rasa bersalah terasa menggunung dalam dadanya. Anisa memang bukan pacarnya. Dia pacar Ferry, saudaranya. Tapi bagaimana pun juga, Indra telah berjanji pada Ferry untuk melakukan kewajibannya, dan lebih dari itu, Indra pun tahu Anisa sangat tergantung pada Ferry. Oh, Tuhan, apa yang telah kulakukan semalam?
Sesampai di rumah Anisa, perasaan Indra semakin tak karuan. Ayah Anisa baru keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, dan dia menyambut kedatangan Indra dengan ramah. Sementara Wahyuni, ibu Anisa, menyongsong kedatangan Indra dan mengabarkan Anisa yang terkena demam. Sama sekali tak ada nada menyalahkan dari ucapan sang ibu, tapi Indra semakin merasa bersalah.
Indra dibawa ke kamar Anisa. Saat memasuki kamarnya, Indra mendapati Anisa yang terbaring lemah dengan tubuh menggigil. Indra mendekat kepadanya.
“Maafkan aku, Nis,” kata Indra sambil menatap wajah Anisa yang pucat. “Semalam aku... tertidur, dan tidak mendengar saat kau menelepon.”
Anisa menatap wajah di depannya dan menjawab lirih, “Tidak apa-apa, Fer. Kau mungkin terlalu capek...”
Indra tak mampu menjawab apa-apa selain merasakan penyesalannya semakin menggunung.
“Aku malah khawatir kalau kau kenapa-napa,” lanjut Anisa. “Syukurlah, kau cuma tertidur.”
Saat itu, ingin sekali Indra mendekap sosok di hadapannya, menyatakan penyesalannya. Namun yang dapat dilakukannya hanyalah menatap wajah Anisa dengan pandangan permintaan maaf.
“Bagaimana kau pulang tadi malam?” tanya Indra kemudian.
“Aku menelepon teman yang rumahnya dekat dengan tempat kerjaku. Untunglah Risti bersedia mengantarku pulang.”
“Kau pasti lama menungguku...”
Anisa menggeleng lemah. “Aku hanya khawatir sesuatu terjadi pada dirimu.”
Anisa membetulkan letak selimutnya, dan Indra pun membantunya. Tampak butir-butir keringat di dahi Anisa. Indra mengambil saputangan dan mengelap keringat itu.
“Kau berkeringat, Nis,” kata Indra.
“Iya, tapi badanku rasanya dingin sekali, Fer.”
“Kau sudah minum obat?”
“Tadi sehabis sarapan, Ibu sudah membelikan obat.”
Indra menatap wajah Anisa yang masih berkeringat. “Kau ingin sesuatu?”
Anisa tersenyum lemah, dan menjawab dengan lirih, “Kalau kau tidak ada keperluan lain, aku hanya menginginkan kau tetap di sini.”
Dan Indra menurutinya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 53)