Hati yang MemilihDi dalam mobil, Indra tengah menikmati musik yang mengalun dan juga menikmati suara Febiola yang merdu.

“Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi, Fer,” kata Febiola. “Saat melihatmu di rumah sakit itu, dan kemudian kita berkenalan, aku selalu ragu-ragu untuk menghubungimu.”

“Hingga tadi siang...?” sahut Indra dengan manis.

“Ya, hingga tadi siang.” Febiola menjawab jujur. “Tadi siang tuh aku lagi suntuk. Nilai-nilai ujianku baru keluar, dan hasilnya jeblok. Mengobati suntuk, aku iseng main-main game di ponselku dan kemudian ingat namamu. Aku nekat saja meneleponmu. Ternyata kau benar-benar sudah lupa.”

Indra tertawa. “Untung saja nilaimu jeblok. Jadi kita bisa bertemu lagi.”

Kali ini Febiola yang tertawa. “Tapi kau tidak akan lupa lagi, kan?”

Indra tersenyum. “Itu tergantung caramu membuatku selalu mengingatmu.”

Mendung yang sejak tadi menggantung kini benar-benar turun dalam hujan yang mengguyur bumi. Jam digital di dasbor mobil menunjukkan pukul 20:23. Biasanya Indra tengah bersiap untuk berangkat menjemput Anisa, lalu menungguinya selesai dari pekerjaannya, dan kemudian mengantarkannya pulang ke rumah. Namun di sisi Febiola malam ini, Indra benar-benar terlupa. Pesona Febiola telah menyedot semua hal lain yang ada dalam pikirannya.

Indra membelokkan mobil dan memasuki pelataran swalayan besar. Ada sebuah restoran yang cukup nyaman di komplek swalayan ini, dan Indra menyukai masakannya yang enak. Mobilnya terus melaju, memutari pelataran parkir swalayan dan terus mendekati lokasi restoran.

“Kau mau kita makan malam di sini?” tanya Indra saat menghentikan mobilnya di tempat parkir dekat restoran itu.

“Tentu,” jawab Febiola.

Hujan masih mengguyur. Mereka turun dari mobil dan kemudian berlari-lari menuju restoran. Karena terburu-buru, Indra tidak sempat mengambil ponselnya yang ia taruh di atas dasbor mobilnya. Mereka memasuki restoran dengan tubuh yang agak basah.

“Kencan pertama yang tidak mengesankan,” ujar Indra sambil tersenyum saat menarikkan kursi untuk Febiola.

Febiola duduk dan menatap Indra dengan tatapan yang manis. “Bagiku, ini pasti akan menjadi kencan pertama yang sangat berkesan.”

Pelayan datang, dan buku menu disodorkan. Tak lama kemudian hidangan pun diantarkan. Indra menikmati masakan yang dihidangkan untuknya, Febiola menikmati kebersamaannya dengan Indra.

Hujan masih turun dan semakin deras mengguyur.

Setelah menikmati makan malam, Indra dan Febiola bercakap-cakap dengan perasaan dan suasana yang semakin akrab. Di atas kursi di dalam restoran itu, Indra membayangkan Ferry yang saat ini pasti tengah menikmati kencan-kencannya di Jakarta. Jadi, apa salahnya kalau dia di sini juga memperoleh kencan yang sama? Dan jika ini kencan pertama, Indra tahu akan ada kencan kedua, ketiga, dan...siapa tahu?

***

Hanya berjarak lima kilometer dari tempat Indra dan Febiola menikmati makan malam, Anisa tengah kebingungan karena menunggu pacarnya yang tak kunjung datang. Biasanya Ferry sudah datang seperempat jam sebelum waktu tutupnya dealer. Tapi sekarang telah lewat pukul sembilan dan Ferry tidak datang juga.

Tadi saat dealernya baru tutup, Anisa telah mengirim SMS ke ponsel Ferry, namun tak ada jawaban. Sampai kemudian seluruh kawan kerjanya pulang satu-persatu. Anisa berdiri sendirian di depan dealernya yang kini telah tutup, menunggu Ferry yang tak juga kunjung tiba.

Anisa sudah menelepon ke ponsel Ferry. Dia mendengar nada sambung. Tapi Ferry tidak menerimanya. Sekali lagi diteleponnya. Sekali lagi terdengar nada sambung. Dan sekali lagi Ferry tidak menerimanya. Apa yang terjadi dengan Ferry? Anisa merasa mengkhawatirkannya.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 52)