love, cintaIndra menepikan mobilnya di depan sebuah rumah yang alamatnya tercantum dalam selembar kertas yang telah ia siapkan. Dia kemudian turun dan melangkah menuju pintu gerbang. Semoga saja Febiola yang membukakan pintu, harapnya.

Harapan Indra terkabul. Saat melangkah memasuki halaman rumah yang luas itu, pintu rumah tampak terbuka dan sesosok perempuan bertubuh tinggi semampai berdiri di ambang pintu dengan senyum yang menawan.

“Fer,” sapanya dengan ceria. “Kau benar-benar datang!”

Indra pun segera yakin kalau inilah si Febiola yang tadi siang meneleponnya. Indra tersenyum melihat sorot kebahagiaan yang jelas terpancar dari mata perempuan itu. Febiola mempersilakannya masuk, dan Indra duduk di sebuah sofa besar di ruang tamu.

Begitu Indra duduk, Febiola masuk ke dalam dan mengatakan sesuatu yang terdengar oleh Indra dari ruang tamu.

“Ma, coba lihat siapa yang datang!” seru Febiola.

Hanya berselang beberapa detik, Febiola telah keluar lagi dari ruang tengah bersama ibunya. Andini, ibu Febiola, segera takjub melihat siapa yang duduk di ruang tamu.

“Ya Tuhan, Indra!” pekik Andini dengan ekspresi terkejut.

Febiola segera meralat, “Bukan Ma, ini Ferry, saudara kembarnya.” Lalu Febiola berpaling pada Indra dan tersenyum, “Mamaku fans berat saudara kembarmu.”

Indra segera memberikan keramahannya pada ibu Febiola, dan wanita itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan yang langka itu. Dia duduk di salah satu sofa di dekat Indra, dan kemudian menatap Indra dengan takjub. Sementara Febiola masuk kembali ke dalam.

“Kau benar-benar mirip Indra, Nak,” kata Andini. “Siapa namamu tadi?”

“Ferry, Tante,” jawab Indra dengan sopan.

“Jadi benar kalau Indra punya saudara kembar?”

“Benar, Tante.” Indra tak bisa membayangkan bagaimana hebohnya wanita itu kalau tahu dia benar-benar Indra.

“Tante tuh fans berat saudara kembarmu,” lanjut Andini sambil tersenyum. “Semua sinetronnya pasti Tante tonton. Bukan cuma karena dia asal Semarang, tapi karena aktingnya benar-benar natural dan enak dilihat.”

Indra hanya bisa tersenyum dan menjawab, “Nanti saya akan menyampaikannya ke Indra.”

“Dia sering pulang ke Semarang?” tanya Andini.

“Kadang-kadang, Tante, kalau pas tidak ada syuting.”

Tatapan Andini tampak berbinar-binar. “Ajaklah dia kemari kalau pulang, ya?”

Sekali lagi Indra hanya bisa mengangguk dan memberikan senyumnya.

Febiola keluar lagi, kali ini dengan dandanan yang lebih cantik. Ibunya segera memahami.

“Kalian mau keluar?” tanya Andini pada putrinya.

Febiola menjawab dengan gaya yang manja, “Iya, Ma. Ferry kesini kan bukan untuk menemui Mama.”

Ibunya hanya tertawa.

Indra lalu berpamitan, dan Febiola pun melangkah di sampingnya.

Langit malam itu tampak redup. Bintang-bintang tak bersinar. Semarang disaput mendung.

***

Ketika Indra membukakan pintu mobil untuk Febiola, sebuah ponsel yang mengkilap jatuh ke lantai keramik di dealer tempat Anisa bekerja.

Saat itu seorang pembeli merasa tertarik dengan salah satu ponsel yang dipajang di etalase. Anisa mengambil kunci etalase dan membuka pintu kacanya, lalu mengambil ponsel yang diinginkan si pembeli. Saat itulah Anisa merasakan jari-jari tangannya gemetar, dan tanpa bisa ditahan ponsel yang mengkilap itu pun jatuh menimpa lantai keramik di bawahnya.

Sang pembeli tampak terkejut. Kawan-kawan kerja Anisa lebih terkejut lagi. Majikannya yang berada tak jauh darinya terlihat menggelengkan kepala. Anisa merasa sangat kebingungan.

Langit meneriakkan suara guntur. Bintang-bintang semakin tenggelam.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 51)