
“Fer, apa sebenarnya yang telah kaulakukan pada kampusmu?!” labrak Indra langsung. Dia masih memendam kedongkolan atas kejadian di kampus tadi.
“Memangnya kenapa, Ndra?” tanya Ferry di seberang sana.
“Tadi siang aku dipanggil menghadap rektormu!”
“Oh ya?”
Indra meneruskan, “Kau bilang mereka tidak akan mengungkit-ungkit masalah itu sampai satu bulan mendatang. Tapi nyatanya tadi aku sendirian diculik untuk menemui rektormu dan para purek, juga beberapa pejabat universitas yang tidak aku kenal.”
“Kau sendirian?” Ferry terdengar terkejut.
Indra menjelaskan, “Semua kawanmu yang mengurusi majalah itu tengah mengikuti lokakarya di Yogya, dan yang tinggal cuma para reporter semester awal yang tidak tahu apa-apa. Yang ada cuma aku, dan mereka pasti tahu itu. Kau tahu apa yang mereka lakukan padaku?”
“Apa...?”
“Mereka seperti ingin mencabik-cabikku hidup-hidup!”
Ferry tertawa ngakak mendengar itu.
“Jangan ketawa, Fer!” kata Indra galak. “Kau menghadapi ancaman yang tidak main-main!”
“Oh ya?”
“Mereka mengancam kalau ralat berita itu tidak dimuat dalam majalahmu di edisi mendatang, mereka akan memecatku, eh, maksudnya memecatmu, dari universitas! Itu yang ngomong rektormu sendiri!”
Ferry terdiam sesaat, kemudian bertanya, “Dan kau jawab apa?”
“Aku katakan saja akan membicarakan terlebih dulu dengan teman-teman yang lain. Aku kan tidak tahu jawaban yang pasti untuk itu, karena kau tidak pernah mengajariku.”
“Tidak apa-apa,” kata Ferry. “Dan kalian membicarakan apa lagi?”
“Mereka memperlihatkan salinan banyak dokumen, tapi aku sama sekali tak paham itu dokumen apa lagi. Pendeknya mereka ingin agar aku, maksudnya kau, meyakini bahwa semua transaksi yang terjadi dalam proyek pembangunan kampusmu itu sah dan legal, dan tak ada kecurangan ataupun dugaan korupsi seperti yang kautulis dalam majalahmu.”
“Dan kau percaya?” tanya Ferry.
“Aku tak peduli apakah aku percaya atau tidak, Fer! Itu bukan urusanku! Kaulah yang nantinya akan menghadapinya. Dan sejujurnya, aku merasa sangat tertekan saat mengurusi kasusmu yang sialan itu!”
“Itu bagian dari permainan kita, Ndra,” tanggap Ferry.
“Ya, dan makin lama permainan ini semakin tidak adil. Kau enak-enakan kencan dan pesta dan dugem di Jakarta, sementara aku di sini mengurusi hal-hal yang memusingkan yang tak kupahami!”
“Jangan lupa, Ndra,” Ferry mengingatkan, “kau mengatakan sudah jenuh dengan kehidupanmu di sini, dan masalah di kampusku akan membuatmu segar kembali.”
“Atau membuatku sinting!” rutuk Indra.
Ferry hanya tertawa.
***
Indra meredakan kekesalannya hari itu dengan berbaring malas-malasan dalam kamar Ferry sambil mendengarkan musik dari CD player. Koleksi musik Ferry tak jauh beda dengan dirinya, dan itu cukup melegakan Indra. Suara gitar Yngwie Malmsteen sedang meraung dalam Black Star ketika ponsel Ferry di dekatnya berdering.
Indra meraih ponsel itu, dan dilihatnya sederet nomor yang tak dikenal di layar ponsel. Nomor ini belum masuk dalam phone-book ponsel Ferry, pikirnya. Indra pun mengecilkan volume musik di CD player, kemudian menerima telepon itu.
“Halo,” sapanya.
“Halo, Ferry?” suara seorang perempuan.
“Iya,” jawab Indra. “Siapa nih?”
“Ini Febi, Fer. Febiola.”
Indra mengerutkan kening dan segera mengaduk-aduk semua memori dalam otaknya. Febi. Febiola. Apakah Ferry pernah bercerita tentang perempuan ini? Atau menyebutkan namanya? Dalam waktu yang berlangsung cepat itu Indra segera mengambil kesimpulan kalau Ferry tak pernah menceritakan apa-apa tentang perempuan ini, juga tak pernah menyebutkan namanya.
Maka Indra pun mengatakan, “Maafkan aku, Febi siapa ya?”
“Kau sudah lupa denganku?” Suara di seberang sana tak berubah. “Kita pernah bertemu di rumah sakit waktu kau sedang...hm, mengantar pacarmu.”
Indra segera melakukan improvisasi. “Oh ya! Aku ingat sekarang. Apa kabar?”
“Hm, baik.” Suaranya terdengar renyah. “Kau?”
“Aku juga baik-baik saja.”
“Lagi apa kau sekarang?”
“Biasa, nunggu sore sambil dengar musik.”
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 49)