cinta, loveDi ruang UKM Pers, Indra masih mendapati Anisa yang menelungkup sambil memegangi sisi-sisi kepalanya. Dia tampak sangat menderita. Indra segera mendekati, kemudian berkata lembut, “Kita perlu ke klinik?”

“Aku cuma pusing, Fer,” jawab Anisa pelan. “Aku tidak akan pingsan.”

“Kau yakin?” Indra menatap wajah Anisa yang pucat.

“Mungkin aku hanya perlu berbaring sebentar.”

Indra mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan itu, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa digunakannya sebagai bantal untuk Anisa, tapi seluruh ruangan itu hanya berisi benda-benda keras. Meja kursi. Komputer dan printer. Rak dan lemari. Juga buku-buku dan majalah. Maka Indra pun kemudian meluruskan kedua kakinya, lalu merengkuh bahu Anisa dan membawanya untuk membaringkan kepala di kedua pahanya.

Anisa hanya menurut, dan kini berbaring di atas karpet dengan kepala menyandar pada kedua paha Indra. Anisa memejamkan matanya. Wajahnya tampak berkeringat. Didorong nalurinya, Indra menyeka keringat di wajah itu dengan jari-jarinya, dan Anisa membuka matanya.

Indra menunduk dan berbisik, “Masih pusing?”

“Agak berkurang,” jawab Anisa lirih.

Wajah mereka begitu dekat, saling berhadapan. Bertatap. Dan Indra merasa ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Seperti ada ribuan kupu-kupu yang berlarian dalam perutnya, menabrak jantungnya, ginjal dan paru-parunya, hatinya...

Dan entah dari mana datangnya dorongan itu, Indra kemudian menyeka anak-anak rambut Anisa yang menutupi wajahnya, dan sekali lagi menyaksikan kecantikan yang lembut, yang belum pernah disaksikannya. Wajah di bawahnya itu masih pucat dan tampak kelelahan. Namun semua itu tak mampu menghapus bayangan kecantikan yang disaksikan Indra.

Rizal datang dengan beberapa bungkusan di tangannya.

Indra membantu Anisa bangkit, kemudian mengambil bungkusan dari tangan Rizal. “Thanks, Zal,” ucapnya sungguh-sungguh.

Rizal pun berlalu. Indra membuka bungkusan makanan itu.

Anisa menyandarkan tubuhnya pada salah satu dinding ruangan, dan Indra mengangsurkan bungkusan nasi yang telah terbuka untuknya.

“Perlu disuapi?” Indra menawarkan.

Anisa memaksakan senyumnya dan menjawab lemah, “Tidak usah. Aku bisa makan sendiri, kok. Kau makan saja nasimu.”

Indra membuka bungkusan nasinya dan menikmatinya. Di saat itu, Indra merasa dirinya benar-benar Ferry, seorang mahasiswa sederhana, bukan lagi artis populer yang biasa muncul di televisi. Nasi yang tengah dinikmatinya ini hanya nasi rames dengan irisan sepotong daging kecil dan gorengan tempe. Bukan masakan mahal dari restoran mewah yang biasa dikunjunginya. Tapi Indra menikmatinya. Ia menikmati nasi dan lauk-pauknya dan gorengan tempenya dan minuman teh hangatnya. Ia menikmati menjadi Ferry. Ia menikmati menjadi mahasiswa biasa yang sederhana. Dengan seorang kekasih yang sederhana.

Setelah menghabiskan nasi dan meneguk minuman mereka, Indra memberesi sisa-sisa makan dan memasukkannya ke dalam kantong plastik. Kemudian dilemparkannya kantong plastik itu ke keranjang sampah di depan ruang UKM, dan Indra merasa ia juga tengah membuang sisa-sisa keartisannya. Ia telah menjadi Ferry. Ia bukan artis lagi.

Anisa terlihat lebih segar, dan wajahnya yang tadi pucat kini tampak mulai memerah kembali.

“Agak baikan?” tanya Indra.

“Lumayan.”

Indra kembali menyandarkan punggungnya pada dinding di sisi Anisa, dan bertanya, “Ingin berbaring lagi?”

Anisa tak menjawab, hanya memandang wajah di sisinya. Ia selalu menyukai perhatian kekasihnya.

Indra kembali meluruskan kakinya, lalu meraih bahu Anisa, dan kepala Anisa pun kembali bersandar pada pahanya. Sekali lagi wajah mereka berhadapan. Sekali lagi mata mereka bertatap dengan sangat dekat. Dan sekali lagi seribu kupu-kupu berlarian dalam perut Indra.

“Fer,” kata Anisa lirih.

“Ya?” Indra mendekatkan wajahnya.

“Bagaimana tadi urusanmu dengan rektorat? Aku sangat mencemaskanmu.”

Indra mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa. Mereka hanya menuntut agar aku meralat berita itu.”

“Cuma itu?” Anisa seperti tak percaya.

“Mereka juga mengancam akan memecatku dari universitas,” jawab Indra jujur. “Tapi tidak usah khawatir. Aku yakin itu tak akan terjadi.”

Anisa menatap wajah di atasnya. “Rizal bilang kau tadi tidak cuma menghadapi rektor, tapi juga para purek. Benar?”

“Iya, mungkin mereka pikir aku akan lebih mudah ditekan kalau sendirian.”

“Dan mereka berhasil?”

Indra menggelengkan kepalanya. “Tak akan semudah itu.”

“Aku sering mengkhawatirkanmu...atas semua yang kaulakukan ini, Fer,” kata Anisa sambil menatap wajah Indra, dan kemudian tangannya terangkat dan jari-jarinya menyentuh dagu Indra. “Tapi...aku juga bangga padamu...”

Seribu kupu-kupu itu terasa semakin keras berlarian dalam perut Indra, dan kepalanya semakin turun ke bawah, wajahnya semakin dekat dengan wajah Anisa. Indra ingin membawanya lebih dekat lagi, namun kemudian bayangan wajah Ferry menghalangi pandangan matanya.

Seribu kupu-kupu yang berlarian dalam perutnya terasa bertabrakan.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 48)